Sumber: TribunNews.com | Editor: Uji Agung Santosa
BANDA ACEH. Aceh, khususnya pemerintah dan masyarakat Kabupaten Aceh Utara kemungkinan kini atau yang akan datang akan memasuki masa “galau”, menyusul berakhirnya operasional PT Arun pada medio Oktober 2015. Yang menyedihkan, Pemerintah Aceh maupun Pemkab Aceh Utara dianggap tak punya persiapan apa-apa “menyambut” berhentinya eksploitasi gas bumi di ladang Arun.
“Mestinya blueprint sudah disiapkan sejak 1980-an. Namun Pemkab Aceh Utara hanya duduk manis menanti hasil setiap tahun,” kata Prof Apridar, Rektor Unimal, menanggapi “gulung lapak”nya PT Arun.
Sebagaimana dilaporkan, pada 15 Oktober 2014, sebanyak dua kargo gas bumi dari ladang Arun, Aceh Utara akan dikapalkan untuk terakhir kalinya. Momentum inilah yang menandai berakhirnya masa kejayaan minyak bumi dan gas alam di kawasan Aceh Utara.
Kekayaan dan kejayaan Pemerintah dan masyarakat Aceh, khususnya Aceh Utara, sangat tergantung pada hasil eksploitasi gas alam oleh PT Arun sejak 1977. Makanya, kini pertanyaan besar yang muncul adalah “mau apa setelah Arun gulung lapak?”.
“Ke depan, Pemkab Aceh Utara mestinya fokus ke sektor pertanian untuk mengurangi kemiskinan. Prioritas pembangunan untuk mengurangi kemiskinan juga harus diarahkan pada pembangunan ekonomi yang berkesinambungan di pedesaan,” kata Prof Dr Apridar MSi.
Pemerintah kita memang sudah terlambat mengantisi[pasi berakhirnya masa kejayaan gas alam. Padahal, “Sejak 2010 sektor migas semakin lemah dalam memberikan kontribusinya bagi ekonomi Aceh. Ini mestinya menjadi warning (peringatan) bagi pemerintah,” kata pejabat BPS Aceh.
Memang, seperti dikatakan sosiolog dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Prof Bahrein T Sugihen (78), bahwa “PT Arun hanya ‘numpang’ berdiri di atas tanah Aceh Utara.
Produksi gas selama ini hanya dijual ke luar negeri, bukan bagi masyarakat lokal dan Indonesia. Warga sekitar bahkan sering kesulitan mendapatkan bahan bakar gas. Pembangunan industri yang ada di daerah Petro Dollar tersebut, hanya sebatas simbol yang sangat manis sebagai pusat pergerakan ekonomi Aceh. Keuntungan yang didapat perusahaan murni untuk para pekerja. Masyarakat tidak mendapat apa pun.”
Boleh jadi benar seperti dikatakan Prof Bahrein. Tapi, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa di masa jaya pabrik-pabrik besar di “Zona Industri Lhokseumawe” itu, semuanya memang terlihat “sumringah”. Sebab, yang namanya pekerja itu, jumlahnya berpuluh-puluh ribu orang. Ia dan keluarganya bergantung hidup pada pabrik-pabrik berskala besar itu. Belum lagi pekerja lepas yang mendapat kerja musiman.
Selain itu, harus diingat pula, bukan hanya masyarakat yang kehilangan banyak pemasukan, pemerintah juga akan “terpukul”. Makanya, harus ada keseriusan melahirkan program jangka pendek dan jangka panjang guna mengantisipasi secara tepat dan cepat menyambut berakhirnya masa operasional PT Arun dan pabrik-pabrik besar lainnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News