kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonomi RI butuh terobosan besar


Senin, 03 November 2014 / 07:32 WIB
Ekonomi RI butuh terobosan besar
ILUSTRASI. Ilustrasi bau kentut


Reporter: Asep Munazat Zatnika, Jane Aprilyani, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) menginginkan pertumbuhan ekonomi di masa kepemimpinannya bisa menembus angka 7% per tahun. Tentu saja target ini menjadi tantangan paling berat bagi tim ekonomi Jokowi. Mengingat, target pertumbuhan itu belum pernah tercapai selama ini. Apalagi, ekonomi global maupun domestik masih mengalami tren perlambatan.

Memang, Jokowi-JK sudah memiliki strategi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi itu. Yang paling menonjol adalah membangun perekonomian berbasis maritim. Jokowi menjanjikan Indonesia menjadi poros maritim dunia.

Lalu, membangun ekonomi berbasis kerakyatan dengan mengutamakan rehabilitasi 5.000 pasar tradisional. Jokowi-JK juga berjanji mendorong, memperkuat, dan mengembangkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta koperasi, hingga industri kreatif.

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 7%, Jokowi-JK akan memulai pembangunan perekonomian dari tingkat bawah, yakni desa. Oleh karena itu, ia berkomitmen menjalankan program dana desa dengan mengalokasikan anggaran khusus sebesar rata-rata Rp 1,4 miliar per desa per tahun. Dari situ, kegiatan ekonomi di desa terus berputar.

Jelas saja, untuk merealisasikan janji itu, Jokow-JK membutuhkan anggaran besar. Masalahnya, sebagian besar pendapatan negara, saat ini terkuras untuk subsidi. Tahun 2014, total bujet subsidi mencapai Rp 403 triliun atau 21% dari belanja negara. 

Sebagian besar subsidi itu tertuju untuk sektor energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM). "Subsidi BBM sudah tak sehat bagi APBN, Jokowi-JK harus segera menaikkan harga untuk memangkas subsidi," ujar Doddy Ariefianto, Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan.

Selain itu, permasalahan defisit neraca dagang juga akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Menurut Ekonom Institute Development of Economic and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, permasalahan defisit dagang bukan hanya karena ekspornya yang melemah, tapi imbas ketergantungan bahan impor. 

Kunci investasi 
Banyak bahan pendukung industri yang diimpor karena di dalam negeri tak tersedia. "Jokowi-JK perlu membuat terobosan untuk mendukung industri pendukung di dalam negeri," tandas Enny.

Jokowi menyadari akan ada banyak hambatan dalam lima tahun mendatang. Baginya, hambatan yang paling utama malah berasal dari pemerintah sendiri. Ego sektoral yang terjadi antar kementerian menjadikan setiap program tidak pernah maksimal. Selain itu, para abdi negara juga banyak yang belum memiliki mental melayani, sehingga berbagai program pelayanan ke masyarakat hingga perizinan usaha berjalan lambat. 

Hasil inspeksi mendadak (sidak) Jokowi ke kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal pekan lalu menemukan, pengusaha masih harus bolak-balik mengurus izin usaha. Ada pengusaha yang mengeluhkan proses perizinan yang memakan waktu hingga berbulan-bulan. "Nantinya, kementerian yang menerbitkan izin investasi harus duduk bersama di satu atap," janji Jokowi mengatasi leletnya perizinan.

Bagi Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, percepatan perizinan memang harus menjadi fokus utama Kabinet Kerja. Soalnya, investasi adalah satu-satunya faktor yang bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Investasi bakal memberikan multiplier efek yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi, dibandingkan dari sektor konsumsi masyarakat ataupun belanja pemerintah.

Percepatan perizinan juga harus segera terealisasi untuk mengatasi perlambatan pertumbuhan investasi. BKPM mencatat pertumbuhan investasi triwulan III 2014 hanya tumbuh 3,2% dibanding triwulan sebelumnya. Padahal sebelumnya pada triwulan II bila dibanding triwulan I, pertumbuhan investasi mampu mencapai 9,01%. "Tahun 2011, pertumbuhan investasi pernah mencapai 10%, kalau kita mau, pasti bisa mencapainya kembali," tandas Bambang.

Dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta, itu adalah pasar yang prospektif. Apalagi, jumlah masyarakat berpenghasilan menengah ke atas terus bertambah. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait



TERBARU

[X]
×