Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong pertumbuhan ekonomi 7% per tahun tampaknya bakal sulit dipenuhi. Pelambatan ekonomi di Tiongkok akan menjadi penghadang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tak hanya di 2014, pelambatan ekonomi bahkan akan berlanjut hingga 2015.
Para ekonom memperkirakan: ekonomi China akan tumbuh di bawah target 7,5% tahun ini. Data manufaktur China per Oktober 2014 memang menunjukkan perbaikan, Purchasing Managers'Index (PMI) keluaran HSBC Holding Plc dan markit Economic di level 50,4, naik tipis dari September 50,2. Namun, sub indeks seperti output manufaktur, turun dari 51,3 menjadi 50,7, terendah dalam lima bulan terakhir.
Bank Indonesia malah menargetkan, pertumbuhan ekonomi China tahun ini hanya 7,3%, anjlok dari 2013 sebesar 7,7%. "Tahun depan lebih kecil lagi," tandas Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, akhir pekan lalu.
Awalnya, BI memproyeksikan ekonomi China tumbuh 7,3% pada tahun 2015. "Tapi tampaknya malah kurang dari itu. Ini jadi perhatian di rapat dewan gubernur," jelas Perry. Maklum, pengaruh ekonomi China terhadap Indonesia sangat besar. "Pengaruhnya sangat luar biasa, setiap 1% pelambatan ekonomi China, Indonesia juga melambat 0,5%," kata Perry.
Tidak heran, bila tahun ini, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,1%-5,5%, dengan kecenderungan ke arah bawah. Sedang tahun 2015, BI memproyeksi ekonomi Indonesia tumbuh 5,4%-5,8%.
Apalagi, China merupakan mitra dagang utama bagi Indonesia. China adalah negara tujuan ekspor terbesar Indonesia. Sebagai konsumen terbesar komoditi asal Indonesia, pelambatan ekonomi China menyebabkan harga komoditas akan terus merosot. Ini jelas merugikan Indonesia, karena ekspor Indonesia didominasi oleh komoditas alam.
Tanda-tanda penurunan harga komoditas alam, kata Perry, kian terlihat. Harga karet di pasar dunia, per Agustus 2014, anjlok 18,75% dibanding tahun lalu. Lalu, di September 2014, harga karet turun lebih dalam lagi hingga 18,97%. Tahun depan, BI memperkirakan harga karet di Agustus dan September hanya akan tumbuh masing-masing 3,19% dan 3,29%.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyadari tren penurunan ekonomi China berpengaruh besar bagi Indonesia. "Pemerintah tak lagi mengandalkan ekspor, tapi beralih ke investasi," kata Bambang.
Ekonom Bank Central Asia, David Sumual, menambahkan, selain investasi, belanja pemerintah harus dioptimal. Jika harga bahan bakar minyak (BBM) naik tahun ini, ada tambahan dana belanja. Dana itu harus dioptimalkan untuk infrastruktur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News