kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonomi China tertekan, Indef: Target pertumbuhan Indonesia semakin menantang


Minggu, 13 Oktober 2019 / 18:23 WIB
Ekonomi China tertekan, Indef: Target pertumbuhan Indonesia semakin menantang
Indef sebut target pertumbuhan Indonesia semakin menantang


Reporter: Grace Olivia | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonomi China diperkirakan makin tertekan seiring dengan ketidakpastian perang dagang yang masih berlanjut. Bank Dunia meramal pertumbuhan ekonomi Negeri Panda itu hanya akan mencapai 6,1% pada akhir tahun ini, dan terus melambat ke level 5,9% dan 5,8% pada 2020 dan 2021. 

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economcis and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, perlambatan ekonomi China yang lebih dalam menambah risiko terhadap perekonomian domestik.

Sepanjang Januari-Agustus 2019 ekspor nonmigas Indonesia ke China menurun hampir 4% year-on-year (yoy) atau menjadi sekitar US$ 15,95 juta. Secara proporsi, ekspor ke China adalah yang terbesar atau 15,71% dari total ekspor nonmigas Indonesia per Agustus lalu. 

Baca Juga: Analis ekspektasi kabinet jilid II tidak didominasi politisi

“Artinya memang sudah ada masalah permintaan dari China sebagai negara tujuan utama ekspor kita sebagai dampak perang dagang dan perlambatan ekonomi China,” tutur Tauhid kepada Kontan.co.id, Minggu (13/10). 

Begitu juga nilai ekspor Indonesia ke negara-negara lainnya yang memiliki relasi dengan China mengalami penurunan, antara lain Amerika Serikat (AS), Malaysia, Thailand, dan Jepang. 

Untuk mengantisipasi perlambatan yang lebih dalam, Tauhid mengatakan, pemerintah harus memiliki skenario untuk memperkuat pasar ekspor lain yang masih tumbuh positif. Negara-negara itu antara lain Kanada, Brazil, hingga Argentina serta negara lain yang tidak memiliki relasi yang kuat dengan perekonomian China. 

Baca Juga: Melirik saham-saham jawara market caps, siapa yang menarik?

Selain itu, skenario pertahanan diri lainnya tak lain tak bukan ialah memperkuat perekonomian domestik. “Baik dengan mendorong investasi FDI maupun mendorong sektor UMKM dan sektor informal lainnya yang tidak bergantung pada kegiatan ekspor dan impor,” lanjut Tauhid. 

Sektor UMKM, misalnya, memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi mesin pertumbuhan Indonesia. Namun stimulus bagi sektor ini masih minim terlihat dari rasio penyaluran kredit yang masih rendah. 

Perkembangan sektor produktif seperti pertanian, manufaktur, dan pertambangan juga harus terus didorong. Sebab, ketiga sektor tersebut memiliki efek pengganda pada penyerapan tenaga kerja yang besar sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan ujungnya menjaga daya beli di dalam negeri. 

Terakhir, efektivitas belanja pemerintah sebagai salah satu pendorong pertumbuhan. Selain jumlahnya yang menurun, belanja modal pemerintah juga belum efektif lantaran hanya terakselerasi di setiap pengujung tahun. 

Baca Juga: Saham perusahaan CPO masih merah, katalis positif baru hadir tahun depan

“Kalau belanja pemerintah mau menciptakan dorongan yang kuat, harusnya belanja modal merata di setiap kuartal bukan hanya di akhir tahun di mana daya ungkit pertumbuhan cenderung sudah melemah,” kata Tauhid. 

Adapun, Indef menilai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% pada 2020 menjadi makin tak realistis. Apalagi, jika pertumbuhan ekonomi akhir tahun ini diasumsikan maksimal hanya 5,1%. 

Oleh karena itu, Tauhid menilai pemerintah perlu mempertimbangkan revisi target pertumbuhan dalam asumsi makroekonomi APBN 2020. Hal ini agar kinerja APBN dari sisi penerimaan, belanja, hingga pembiayaan tetap kredibel dan tepat sasaran. 

Baca Juga: Ekonomi China makin lambat, tantangan pertumbuhan ekonomi Indonesia kian berat

“Kami sendiri proyeksi pertumbuhan ekonomi akhir tahun ini hanya akan mencapai 5%,” kata Tauhid. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×