Reporter: Martyasari Rizky | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro menilai upaya menaikan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) merupakan langkah yang tepat untuk tetap menjaga agar range pertumbuhan berada di kisaran 5,1% sampai dengan 5,2%.
Kenaikan tersebut dinilai tidak ngebut atau dengan kata lain tidak terlalu cepat. "Seperti ibarat sedang berkendara saat jalanan basah, jangan terlalu ngebut takutnya terjadi selip, lebih baik pelan tapi bukan lamban, asal selamat sampai tujuan," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (19/11).
Ari juga mengatakan, melihat pengalaman Turki dan Argentina, yang ingin cepat menaikan suku bunga namun tidak akan ada gunanya. Dikhawatirkan, hal tersebut malahan bisa mengakibatkan nilai tukar kembali merosot.
Karena terjadinya ketidakpastian global, maka pemerintah harus memilih langkah yang tepat, perlu kehati-hatian ekstra. Jika salah mengambil langkah, atau terlalu cepat dalam menaikan suku bunga sampai dengan di atas 6% itu akan melebarkan neraca transaksi berjalan.
Hal itu bisa saja terjadi karena industri-industri tidak dapat menghasilkan bahan penolong, atau bahan setengah jadi. Otomatis kalau produksinya ingin ditingkatkan, akan terjadi peningkatan impor bahan baku. Jika seperti itu, neraca perdagangan dan neraca berjalan akan memburuk.
"Akibatnya, bisa memberikan efek yang lebih buruk kepada nilai tukar Rupiah. Rupiah akan kembali melemah, harga impor barang industri tersebut menjadi mahal. Pertumbuhannya pun akan turun lagi," kata Ari.
Langkah yang diambil BI saat ini dinilai merupakan langkah yang realistis. BI mengetahui bahwa ketidakpastian global masih terus berjalan, sehingga ekspor Indonesia masih menghadapi banyak halangan.
"Jadi kalau misalnya pertumbuhan ekonomi dipacu terlalu tinggi, hal itu akan menyebabkan resiko. Makanya BI mengambil angka yang moderat, sekitar 5% sampai dengan 5,2%," ujarnya.
Namun, pertanyaannya ialah apakah angka pertumbuhan ekonomi 5% itu cukup? bahwa kalau tumbuhnya 5% sampai dengan 5,2% tetapi inflasinya di bawah 3,5% hal itu masih bagus. Ketimbang tumbuhnya 6% tetapi inflasi melonjak sampai 10%, maka akan berdampak kepada pendapatan riil yang akan diperoleh masyarakat.
"Maka dari itu, naiknya angka pertumbuhan jangan terlalu cepat, tetapi jangan lambat juga. Yang penting daya belinya masih tetap terjaga dengan inflasi yang rendah," tambahnya.
Secara bersamaan, kenaikan suku bunga ini merupakan suatu upaya agar ekspektasi inflasi tetap terjaga rendah, dan juga untuk memberikan sinyal kepada pemodal asing kalau Indonesia masih bagus untuk menjadi pilihan berinvestasi. Jika para pemodal ini masuk ke pasar Indonesia, walaupun investasi jangka pendek, maka Rupiah masih memiliki potensi untuk menguat.
Di sisi lain, jika dilihat dari penyerapan tenaga kerja. Pemerintah sekarang harus memiliki strategi untuk menciptakan lapangan kerja baru di sektor yang bukan manufaktur, yaitu sektor pertanian dan jasa.
Seperti misalnya, dana desa, pengembangan pariwisata daerah berbasis desa, atau dengan kata lain masyarakat boleh mengelola sumber daya alam (SDA) yang ada di sekeliling mereka, asalkan mereka mempunyai pertanggungjawaban.
Hal ini dibuktikan dari angka elastisitas tenaga kerja Indonesia tahun 2018 yang sebesar 0,53%. Sedangkan, pada tahun 2010-2014 elastisitas tenaga kerja hanya berada di kisaran 0,22%. Itu artinya, 1% kenaikan pertumbuhan ekonomi, maka akan meningkatkan 0,53% penyerapan tenaga kerja.
Terkait hal itu semua, hambatan dari pertumbuhan ekonomi Indonesia ialah berada di neraca perdagangan, maka harus ada upaya pengembangan sektor-sektor, utamanya adalah pengembangan sektor jasa, pariwisata, serta adanya peningkatan kualitas tenaga kerja. Sehingga devisa yang akan masuk ke Indonesia akan jauh lebih besar.
"Jadi jangan hanya mengirim tenaga kerja informal seperti pembantu rumah tangga. Tetapi juga harus mengirim tenaga kerja formal, seperti misalnya orang-orang profesional atau yang memiliki spesifikasi vokasi. Jadi, nanti gaji yang diperoleh akan lebih tinggi," ucapnya.
Ari juga menambahkan, hal tersebut nantinya akan menambah neraca jasa, mungkin tidak akan langsung surplus. tetapi setidaknya akan mengurangi lebarnya defisit neraca berjalan. Sehingga, nilai tukar rupiah masih memiliki potensi untuk menguat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News