Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID–JAKARTA. Ekonom Bank Danamon Indonesia menilai surplus neraca perdagangan Indonesia berlanjut selama 61 bulan berturut-turut hingga Mei 2025 cukup tangguh dengan pertumbuhan ekspor yang lebih kuat dari proyeksi pasar sebelumnya.
Ekonom Bank Danamon Indonesia Hosianna Evalita Situmorang menyebut, nilai surplus mencapai US$ 4,3 miliar, didorong oleh pertumbuhan ekspor tahunan sebesar 9,68%, lebih tinggi dari perkiraan pasar.
"Kenaikan ini terutama ditopang oleh lonjakan ekspor nonmigas sebesar 11,8% secara tahunan alias year on year (YoY), dengan kontribusi utama dari barang industri olahan seperti minyak sawit (CPO), mineral, dan logam," ungkapnya dikutip Selasa (1/7).
Baca Juga: AS Jadi Penyumbang Surplus Dagang Terbesar RI pada Mei 2025, China Sumbang Defisit
Selain faktor komoditas, ekspor juga didorong oleh frontloading atau percepatan pengiriman barang menjelang berakhirnya jeda tarif 90 hari dari Amerika Serikat di bawah kebijakan dagang Presiden Trump.
Menurut Hosianna, meski Indeks PMI manufaktur Indonesia mengalami kontraksi ke level 46,9, aktivitas impor tetap tumbuh 4,14% YoY untuk bulan keempat berturut-turut.
"Ini mencerminkan permintaan domestik yang stabil dan pembangunan stok secara pre-emptive oleh pelaku usaha," ungkapnya.
Sementara itu, Indonesia juga membukukan surplus perdagangan sebesar US$ 8,3 miliar dengan Amerika Serikat sepanjang Januari–Mei 2025. Komoditas penyumbang utama ekspor ke AS adalah mesin listrik, alas kaki, dan pakaian.
Baca Juga: BPS Catat Neraca Dagang Mei 2025 Surplus US$ 4,3 Miliar, Didorong Komoditas Nonmigas
Hosianna menilai, menjelang tenggat waktu kebijakan tarif pada 9 Juli 2025, muncul harapan akan resolusi dagang multilateral antara AS, Tiongkok, Eropa, dan Jepang. Situasi ini ikut menopang penguatan mata uang negara berkembang.
Namun demikian, Ia mengingatkan bahwa rencana deregulasi impor Indonesia dapat melemahkan proyeksi surplus di masa depan dan memunculkan risiko terhadap transaksi berjalan serta nilai tukar, apalagi bila dorongan ekspor akibat frontloading mulai mereda.
"Rencana deregulasi impor Indonesia bisa mengurangi proyeksi surplus ke depan serta menimbulkan risiko baru terhadap neraca transaksi berjalan dan nilai tukar, terutama bila dorongan ekspor akibat frontloading mereda," terangnya.
Selanjutnya: Rupiah Spot Ditutup Menguat 0,24% ke Rp 16.200 per Dolar AS pada Selasa (1/7)
Menarik Dibaca: Jangan Bilas Dengan Air, Ini Cara Perempuan Tetap Aktif dan Nyaman Saat Red Days
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News