Reporter: Ferry Saputra | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom berpendapat anggaran perlindungan sosial (perlinsos) yang menurun 4,7% dari Rp 502,6 triliun pada 2022 menjadi Rp 479,1 triliun pada 2023 berpotensi akan mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan anggaran perlindungan sosial menurun bisa berisiko terhadap daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah atau miskin.
"Contohnya, pencabutan Bantuan Subsidi Upah (BSU), padahal masih dibutuhkan karena masih terdapat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal itu bisa menjadi hambatan bagi pertumbuhan ekonomi," ucap dia kepada KONTAN.CO.ID, Kamis (23/2).
Baca Juga: Kemenkeu Salurkan Dana untuk Perlindungan Sosial Rp 14,6 Triliun Selama Januari
Sementara itu, Bhima mengaku setuju dengan pemerintah terkait penurunan anggaran yang berkaitan dengan belanja pegawai atau barang.
Menurut dia, yang terpenting ketika pemerintah mencoba menyimpan atau saving dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini, sebaiknya direlokasi atau difokuskan ke belanja yang sifatnya produktif.
"Mungkin bisa menambah subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau stimulus untuk industri padat karya," ujarnya.
Dia menyampaikan sebaiknya pemerintah juga perlu sedikit menggeser belanja infrastruktur dengan cakupan cukup besar, lalu sebagian anggaran tersebut diprioritaskan untuk belanja yang bisa langsung terserap masyarakat membutuhkan atau pelaku industri.
Oleh karena itu, Bhima menyebut pemerintah harus memikirkan cara yang tepat. Apabila belanja pemerintah porsinya menurun atau lebih rendah daripada tahun lalu, tentu yang perlu digencarkan porsi dari komponen pengeluaran lainnya, mulai dari konsumsi rumah tangga, ekspor dipertahankan, dan investasi.
"Jadi, komponen itu yang perlu didorong, apalagi dihadapkan tantangan tahun pemilu yang mana investasi biasanya akan wait and see," ungkapnya.
Baca Juga: PPKM Berakhir, Program Pemulihan Ekonomi 2023 Diserahkan ke Kementerian Masing-Masing
Bhima menyebut ekspor juga harus didorong sehingga tidak bergantung pada komoditi base, tetapi pada sektor yang punya nilai tambah, seperti sektor industri, ekspor, atau jasa.
Dengan demikian, Indonesia tidak kehilangan momentum pertumbuhan pasca pandemi Covid-19. Sebab, apabila pertumbuhannya di bawah target 5%, Indonesia kemungkinan akan terkejar oleh negara tetangga, seperti Vietnam, Malaysia, dan Filipina, yang menargetkan pertumbuhan lebih ambisius.
"Intinya, postur anggaran belanja birokrasi dihemat, tetapi dialihkan kepada belanja yang lebih produktif dan berdampak langsung ke sektor riil," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News