kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.933.000   17.000   0,89%
  • USD/IDR 16.378   49,00   0,30%
  • IDX 7.859   -31,86   -0,40%
  • KOMPAS100 1.103   -7,60   -0,68%
  • LQ45 822   -6,76   -0,82%
  • ISSI 265   -0,92   -0,35%
  • IDX30 425   -3,33   -0,78%
  • IDXHIDIV20 494   -1,99   -0,40%
  • IDX80 124   -0,75   -0,60%
  • IDXV30 131   0,35   0,27%
  • IDXQ30 138   -0,83   -0,60%

Ekonom Sarankan, BPS Transparan dan Terus Membuka Diskusi Soal Pertumbuhan Ekonomi


Sabtu, 23 Agustus 2025 / 09:40 WIB
Ekonom Sarankan, BPS Transparan dan Terus Membuka Diskusi Soal Pertumbuhan Ekonomi
ILUSTRASI. Lanskap kota Jakarta terlihat dari ketinggian, Sabtu (24/5/2025). Pemerintah menyiapkan serangkaian stimulus ekonomi untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II tahun 2025. Stimulus tersebut menyasar konsumsi domestik masyarakat, dengan fokus pada pemberian diskon tarif listrik 50%, potongan tarif transportasi, hingga subsidi upah bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta per bulan. (KONTAN/Cheppy A. Muchlis)


Reporter: Ahmad Febrian, Dendi Siswanto | Editor: Ahmad Febrian

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebut penjualan mobil di pameran Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2025 naik 12% dibandingkan tahun sebelumnya.

Ketua Umum Gaikindo, Yohannes Nangoi menjelaskan, lebih dari 38.000 unit kendaraan terjual selama ajang  tersebut.  "Kembali kami tekankan, transaksi bukan tujuan utama GIIAS. Tapi hasil pada tahun ini benar-benar menjadi dorongan kuat untuk pertumbuhan industri di tahun ini," kata Yohannes.

Meski jumlah kendaraan yang laku meningkat,i total penjualan justru turun dibandingkan tahun lalu. Hal itu dipengaruhi oleh hadirnya banyak model baru dengan harga yang lebih terjangkau. Sayang, , ia tidak menyebut berapa nilai transaksi yang berhasil dibukukan di GIIAS 2025.

"Tercatat nilai keseluruhan penjualan mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu. Hal ini dipengaruhi oleh semakin kompetitifnya harga model kendaraan yang diluncurkan, yang menurut kami memiliki hal positif bagi masyarakat," kata dia.

"Dari sudut pandang ekonom, pencapaian GIAAS 2025 menunjukkan realitas ekonomi yang berubah. "Mereka tetap beli mobil, cuma jenis pilihan mobilnya yang bergeser,” kata Piter Abdullah Redjalam, Direktur Riset Prasasti, Selasa (19/8). 

Baca Juga: DBS Menilai Indonesia Masih Resilient di Tengah Tantangan Perdagangan Global

Nilai transaksi yang lebih rendah dari volume penjualan juga bukan menunjukkan mayoritas pengunjung beli mobil murah (LCGC). “Kita perlu melihat dari perspektif lain , membeli mobil mewah dan berkualitas tinggi rupanya tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak. Orang cukup beli Denza dan Xpeng untuk merasakan Alphard, atau beli BYD Sealion untuk SUV mewah,” lanjutnya. . 

Fenomena GIAAS ini, kata Piter, merupakan contoh menarik memahami realitas ekonomi dalam kaitannya dengan daya beli dan data pertumbuhan ekonomi. Ekonom yang juga anggota Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) ini memberikan beberapa contoh lain pergeseran realitas ekonomi dan perubahan pola konsumsi yang kemudian berimplikasi terhadap pembacaan data ekonomi. 

Beberapa waktu lalu, tutur Piter, sempat ramai isu dana pihak ketiga (DPK) ritel di perbankan tumbuh lambat atau stagnan. Lalu muncul kesimpulan, ekonomi tidak baik baik saja karena masyarakat tidak lagi punya dana lebih untuk ditabung, bahkan makan tabungan itu sendiri untuk bertahan hidup.

“Kalau hanya menggunakan pendekatan seperti itu, kesimpulannya seolah tampak benar. Padahal, kalau perspektifnya diperluas, maka hasilnya bisa beda,” kata Piter. 

Menurut Piter, ada baiknya data DPK ritel juga disandingkan dengan data penjualan emas yang justru melonjak tajam. Masyarakat bahkan rela antre di sejumlah butik Antam untuk bisa membeli lebih banyak instrumen investasi yang harganya sedang melambung ini.

Baca Juga: BI Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi 2026 di Level 4,7% - 5,5%, Rupiah Stabil

“Bagi kelas menengah zaman now, memiliki deposito atau menyimpan uang di tabungan dalam jumlah besar, bukanlah pilihan utama. Dana darurat dikonversi ke emas, reksadana, obligasi dan saham. Bahkan banyak juga yang investasi ke kriptoi,” katanya.  Selain emas, kelas menengah dan Gen Z juga berbondong bondong memborong Obligasi Negara Ritel (ORI).

Menurut Piter, perubahan realitas ekonomi itu nyata, sementara pisau analisa yang digunakan untuk memahami realitas itu, kadang kurang diasah. Akibatnya, kita selalu tertinggal di belakang dan tergagap gagap dalam menangkap perubahan zaman. 

Berbagai kondisi ini mesti dicermati dengan memperluas perspektif. Data pertumbuhan ekonomi tidak hanya menyangkut angka penjualan semen, penjualan mobil, rumah dan pendekatan lain yang selama ini digunakan. Menurutnya, Badan Pusat Statistik (BPS) juga harus menjelaskan realitas ekonomi dan pendekatan metodologinya.

"Inisiatif BPS mengundang stakeholders untuk mendiskusikan data statistik merupakan langkah bagus. Tradisi positif ini perlu dilestarikan agar semua pihak bisa menyampaikan perspektifnya, sehingga tidak membingungkan publik,” saran Piter yang bersama sejumlah ekonom mengikuti audiensi dengan BPS pada pekan lalu.

Sebelumnya BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,12% year on year (yoy) pada kuartal II 2025. Angka ini melampaui proyeksi pertumbuhan dari berbagai lembaga independen

Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi RI Lampaui Ekspektasi, Apindo: Pengusaha Tak Terlena

Namun, rilis BPS tersebut menimbulkan respons kritis dari masyarakat. Di tengah penurunan kepercayaan publik, muncul desakan agar pemerintah lebih transparan dalam metode perhitungan.

Ekonom The Prakarsa, Ema Kurnia Aminnisa menyoroti perbedaan data BPS dengan indikator independen, khususnya Purchasing Manager’s Index (PMI) dari S&P Global.

“Sampai Juli 2025, PMI manufaktur Indonesia masih di bawah 50, dan terjadi selama 4 bulan berturut-turut sejak April. Hal ini menunjukkan, kinerja manufaktur Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan yang berbanding terbalik dengan data BPS yang menunjukkan pertumbuhan signifikan,” jelas Ema dalam keterangannya.

Peneliti Ekonomi The Prakarsa,, Bintang Aulia Lutfi, juga menilai perhitungan pertumbuhan konsumsi rumah tangga perlu dievaluasi kembali.

“Pertumbuhan kredit konsumsi hanya mencapai 3,12%, sementara Indeks Kepercayaan Konsumen turun 5,3 poin secara tahunan. Kredit modal kerja mengalami stagnasi tanpa pertumbuhan berarti, ditambah realisasi PPN dan PPnBM masih terkontraksi 19,7% yoy,” ujarnya.

Baca Juga: Perbedaan Data Pertumbuhan Ekonomi BPS dengan Lembaga Independen Jadi Sorotan

Menurut Bintang, tren tersebut menimbulkan pertanyaan atas klaim pertumbuhan konsumsi rumah tangga, mengingat indikator pembiayaan dan kepercayaan konsumen tidak menunjukkan penguatan sejalan.

Ia juga menyoroti pasar kerja yang dinilai tidak mendukung klaim pertumbuhan ekonomi. Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat hingga Juni 2025 terdapat 42.000 pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Banyak dari mereka hanya berpindah ke sektor berproduktivitas rendah, informal, dan rentan, namun tetap dikategorikan sebagai bekerja oleh indikator BPS,” tegasnya.

The Prakarsa menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi bukan sekadar angka, melainkan gabungan dari berbagai variabel yang harus dijelaskan secara terbuka.

Di tengah keterbukaan informasi, publik dapat menilai konsistensi data pemerintah dengan indikator independen. Oleh karena itu, The Prakarsa mendorong transparansi dalam pemaparan angka pertumbuhan, terutama terkait kontribusi konsumsi, investasi, serta ekspor-impor.

Selanjutnya: IGGC Geothermal Salurkan Bantuan Pendidikan untuk Anak di NTT

Menarik Dibaca: Rekomendasi 5 Film Romantis Tentang Cinta Pertama di Netflix, Awas Baper

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×