kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ekonom: Pemerintah belum maksimal tekan impor sehingga defisit membengkak


Selasa, 15 Januari 2019 / 18:47 WIB
Ekonom: Pemerintah belum maksimal tekan impor sehingga defisit membengkak


Reporter: Benedicta Prima | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Defisit neraca perdagangan sepanjang 2018 yang sebesar US$ 8,57 miliar merupakan defisit terparah sejak reformasi.  Di mata ekonom, defisit ini terjadi karena pemerintah belum maksimal menekan impor dan mendorong ekspor. 

Ekonom Center Of Reform on Economic (CORE) Indonesia  Mohamad Faisal melihat baik kebijakan menahan impor ataupun menggenjot ekspor masih belum efektif. Seperti B20, yang berlaku pada September lalu belum berdampak besar. Pun dengan pengenaan pajak pada barang konsumsi.

"Pertumbuhan barang konsumsi masih tetap tinggi, double digit, lebih tinggi dari barang modal," jelas Faisal saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (15/1).

Buktinya, pertumbuhan paling tinggi sepanjang 2018 terjadi pada barang konsumsi. Mengalami kenaikan hingga 22,03% dari US$ 14,08 miliar menjadi US$ 17,18 miliar.
Sedangkan barang modal naik 19,54%, dari US$ 25,06 miliar menjadi US$ 29,96 miliar.

Kebijakan menggenjot ekspor pun demikian sulit dilaksakana, sebab, menurut Faisal, hingga saat ini 55% ekspor masih tergantung pada komoditas mentah. "Belum besar terobosannya untuk mengubah ke struktur manufaktur," jelas Faisal.

Upaya pemerintah yang dimaksud antara lain menggulirkan berbagai kebijakan insentif untuk industri hasil ekspor, penyederhanaan ijin, menekan biaya logistik untuk daya saing, dan melakukan diversifikasi pasar.

Terkait ekspor dan impor non-migas, Faisal juga menjelaskan, seharusnya, saat harga minyak dunia naik, ekspor juga akan mengalami peningkatan bersamaan dengan impor. Sayangnya, Indonesia lebih banyak melaksanakan impor ketimbang ekspor.

"Kita lebih banyak impor. Ekspor kita lebih ke mentah, sehingga lebih murah. Itu sehingga defisit migas melebar," jelas Faisal.

Surplus pada non-migas yang terbilang lemah terutama karena turunnya harga minyak sawit, karet, dan batu bara.

Selain itu, pada sektor manufaktur mengalami pertumbuhan yang lambat sekitar 3,86% atau hanya senilai US$ 129,93 miliar dari US$ 125,10. Disebabkan perlambatan pertumbuhan dunia, utamanya negara mitra tujuan ekspor seperti Tiongkok dan Amerika Serikat (AS).

BPS mencatat ekspor ke Tiongkok pangsanya 24,39%, hanya naik tipis dari tahun 2017 yang sebesar 21,35%. Pun ke AS, pangsa ekspor juga naik tipis dari 12,13% di tahun lalu menjdi 17,67% pada 2018 ini.

Tercatat, 1945 defisit hanya sebesar US$ 0,1 miliar, kemudian defisit lagi pada 2012 sebesarUS$ 1,7 miliar, sedangkan 2013 defisit US$ 4,08 miliar, kemudian tahun 2014 defisit US$ 2,20 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×