Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2021 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) pada hari ini, Selasa (12/5).
KEM PPKF tersebut disampaikan sebagai landasan penyusunan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) tahun 2021 mendatang. Pemerintah mengusulkan besaran indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan RUU APBN 2021 adalah sebagai berikut.
Baca Juga: Pengesahan revisi UU Minerba jadi katalis positif di tengah penurunan harga batubara
Pertumbuhan ekonomi diasumsikan berkisar antara 4,5%-5,5% dengan tingkat inflasi antara 2,0%-4,0%. Kemudian, tingkat suku bunga SBN 10 tahun antara 6,67% hingga 9,56%, untuk nilai tukar rupiah antara Rp 14.900 sampai Rp 15.300 per dolar Amerika Serikat (AS).
Harga minyak mentah Indonesia (ICP) antara US$ 40 sampai US$ 50 per barel, lifting minyak diasumsikan antara 677 ribu hingga 737 ribu barel per hari (MBPOD), serta lifting gas bumi antara 1.085 ribu hingga 1.173 ribu barel setara minyak per hari.
Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2021 berada pada kisaran 3,21% hingga 4,17% terhadap produk domestik bruto (PDB), beserta rasio utang diperkirakan pada kisaran 36,67% hingga 37,97% terhadap PDB.
Menanggapi hal ini, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, apabila penanganan wabah dilakukan dengan cara yang umum seperti sekarang, tentu akan lebih sulit bagi pemerintah untuk melakukan proses pemulihan ekonomi di tahun depan.
Baca Juga: Aset saham menyokong kinerja reksadana campuran
"Jika tidak tepat dalam menetapkan pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) misalnya, bisa berpotensi mendorong terjadinya gelombang kedua penularan Covid-19. Jika ini terjadi, tentu akan kembali menghambat aktivitas masyarakat dan ujung-ujungnya menghambat aktivitas ekonomi," ujar Yusuf kepada Kontan, Selasa (12/5).
Di samping itu, menurut Yusuf defisit anggaran relatif masih akan besar di tahun depan, karena penerimaan pajak masih akan mengalami tekanan akibat proses pemulihan ekonomi.
Di sisi lain, kebutuhan belanja tahun depan juga disinyalir masih cukup besar. Ini merupakan akibat dari pemberian insentif yang besar pula untuk menekan angka kemiskinan dan pengangguran yang berpotensi naik di tahun ini.
Sementara untuk rasio utang, diperkirakan akan sedikit lebih besar dibandingkan perkiraan pemerintah. Dikarenakan pemerintah belum bisa mendorong penggunaan pajak untuk belanja di tahun depan, maka pembiayaan via utang masih akan menjadi andalan pemerintah. "Bukan tidak mungkin rasio utang terhadap PDB mencapai angka 40% di tahun depan," papar Yusuf.
Baca Juga: Alokasi anggaran program pemulihan ekonomi nasional mestinya masih bisa ditambah
Kemudian, untuk nilai tukar diperkirakan memang ada potensi penguatan pada level yang ditentukan pemerintah. Hal ini didorong kebutuhan pembiayaan anggaran melalui penerbitan surat utang, sehingga berpotensi mendorong masuknya investor asing pada surat utang pemerintah.
Di luar itu, Yusuf memperkirakan yang perlu dihitung ulang oleh pemerintah adalah terkait ICP. Jika berkaca pada harga sekarang, kemungkinan ICP akan bergerak di level US$ 30 sampai dengan US$ 40/barel. Selain Itu, SPN juga mungkin perlu direvisi mengingat tren penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI).
Lebih lanjut, Yusuf tidak menutup kemungkinan bahwa pertumbuhan ekonomi di tahun depan berpotensi di atas 4%. Apalagi jika baseline pertumbuhan di tahun ini hanya tumbuh tipis atau bahkan terkontraksi. Hal tersebut secara statistik bisa mendorong pertumbuhan di tahun depan.
"Manufaktur masih menjadi salah satu fokus pemerintah di tahun depan. Jika pemerintah mampu konsisten mendorong pemulihan di sektor manufaktur ditambah revitalisasi industri manufaktur, maka sektor ini bisa menjadi penopang target pertumbuhan ekonomi di tahun depan," kata Yusuf.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News