Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Handoyo .
Di sisi lain, kebutuhan belanja tahun depan juga disinyalir masih cukup besar. Ini merupakan akibat dari pemberian insentif yang besar pula untuk menekan angka kemiskinan dan pengangguran yang berpotensi naik di tahun ini.
Sementara untuk rasio utang, diperkirakan akan sedikit lebih besar dibandingkan perkiraan pemerintah. Dikarenakan pemerintah belum bisa mendorong penggunaan pajak untuk belanja di tahun depan, maka pembiayaan via utang masih akan menjadi andalan pemerintah. "Bukan tidak mungkin rasio utang terhadap PDB mencapai angka 40% di tahun depan," papar Yusuf.
Baca Juga: Alokasi anggaran program pemulihan ekonomi nasional mestinya masih bisa ditambah
Kemudian, untuk nilai tukar diperkirakan memang ada potensi penguatan pada level yang ditentukan pemerintah. Hal ini didorong kebutuhan pembiayaan anggaran melalui penerbitan surat utang, sehingga berpotensi mendorong masuknya investor asing pada surat utang pemerintah.
Di luar itu, Yusuf memperkirakan yang perlu dihitung ulang oleh pemerintah adalah terkait ICP. Jika berkaca pada harga sekarang, kemungkinan ICP akan bergerak di level US$ 30 sampai dengan US$ 40/barel. Selain Itu, SPN juga mungkin perlu direvisi mengingat tren penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI).
Lebih lanjut, Yusuf tidak menutup kemungkinan bahwa pertumbuhan ekonomi di tahun depan berpotensi di atas 4%. Apalagi jika baseline pertumbuhan di tahun ini hanya tumbuh tipis atau bahkan terkontraksi. Hal tersebut secara statistik bisa mendorong pertumbuhan di tahun depan.
"Manufaktur masih menjadi salah satu fokus pemerintah di tahun depan. Jika pemerintah mampu konsisten mendorong pemulihan di sektor manufaktur ditambah revitalisasi industri manufaktur, maka sektor ini bisa menjadi penopang target pertumbuhan ekonomi di tahun depan," kata Yusuf.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News