Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan adanya surplus perdagangan sebesar US$ 42,4 juta pada bulan Oktober lalu. Sebelumnya, tepantnya di September 2013, terjadi defisit neraca dagang sebesar US$ 657 juta.
Ekspor Oktober 2013 mencapai US$ 15,72 miliar atau naik 2,59% dibanding Oktober tahun 2012. Sedang bila dibanding September 2013, terjadi kenaikan sebesar 6,87%. Surplus itu di satu sisi cukup menggembirakan, namun di sisi lain, ekonom mengkhawatirkan surplus ekspor itu tak bisa bertahan lama.
Hal itu disampaikan oleh Destry Damayanti, ekonom dari Forum Ekonom Indonesia di Jakarta, Senin (2/12). "Harus dilihat lagi kedepannya. Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan surplus," ujar Destry.
Selain itu, kata Destry, hal lain yang juga patut diperhatikan adalah, adanya penurunan impor. Jika yang turun adalah impor minyak dan gas, artinya kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi Rp 6.500, berlaku efektif.
Namun, jika impor yang turun karena penurunan impor komponen investasi berorientasi domestik, maka hal itu tidak mengherankan. Sebab, hal itu sejalan dengan pertumbuhan investasi yang melambat di Indonesia. "Jadi harus dibedah lagi (data impor)," ujar Destry.
Catatan saja, surplus neraca perdagangan Oktober merupakan surplus ketiga yang terjadi di tahun 2013. Sebelumnya, surplus perdagangan terjadi pada Maret dan Agustus.
Sementara itu, total ekspor Januari - Oktober 2013 tercatat sebesar US$ 149,66 miliar, turun 5,46% dibanding periode yang sama tahun lalu. Untuk ekspor non migas dari Januari sampai Oktober 2013 mencapai US$ 123,19 miliar atau turun 3,01% dibanding tahun lalu.
Melihat data impor, impor Oktober 2013 capai US$ 15,67 miliar atau turun 8,9% dibanding Oktober 2012. Sedangkan bila dibanding September 2013 terjadi peningkatan impor sebesar 1,06%. Sehingga terjadilah surplus sebesar US$ 42,4 juta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News