kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Ekonom: Burden sharing tidak akan sebabkan hiperinflasi di tahun 2022


Kamis, 26 Agustus 2021 / 18:13 WIB
Ekonom: Burden sharing tidak akan sebabkan hiperinflasi di tahun 2022
ILUSTRASI. Inflasi Indonesia di tahun 2022 diprediksi masih tetap terjaga


Reporter: Bidara Pink | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) dan pemerintah melanjutkan burden sharing melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) III untuk pelaksanaan pembiayaan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 dan APBN 2022. 

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan, skema pembagian beban ini memang memungkinkan meningkatkan inflasi. Namun, dia menegaskan, inflasi tidak akan naik signifikan dan masih akan berada dalam kisaran sasaran BI yakni 2% - 4%. 

“Kami memperkirakan inflasi tahun 2022 berada di kisaran 3,10%,” kata dia kepada Kontan.co.id, Rabu (25/8). 

Bila dibandingkan dengan pergerakan inflasi di tahun ini maupun tahun 2020, inflasi memang lebih tinggi di tahun depan. Peningkatan inflasi ini seiring dengan pemulihan ekonomi Indonesia yang terus berlangsung sehingga meningkatkan permintaan. 

Baca Juga: Ekonom Bank Permata sebut kebijakan burden sharing tekan lonjakan inflasi tahun depan

Faisal juga optimistis, angka kasus harian Covid-19 bisa terus ditekan, ditambah adanya vaksinasi yang dipercepat sehingga pembatasan aktivitas akan dilonggarkan. Hal ini berpotensi menaikkan mobilitas masyarakat dan berujung pada peningkatan perputaran uang di dalam negeri. 

Selain itu, insentif pajak untuk konsumen kemungkinan besar akan selesai sehingga ada normalisasi harga di tahun depan. 

Namun, inflasi masih tetap bergerak terbatas karena di sisi lain, bank sentral Amerika Serikat (AS) kemungkinan melakukan pengetatan kebijakan moneter (tapering off) sehingga dapat menurunkan harga komoditas. 

“Hal ini akan berdampak pada penurunan harga-harga input produksi dan harga energi. Harga emas yang merupakan salah satu penyumbang terbesar inflasi diprediksi juga akan turun,” pungkas Faisal. 

Selanjutnya: Pergerakan rupiah besok (27/8) ditentukan pernyataan The Fed pada Jackson Hole

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×