kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.908.000   -6.000   -0,31%
  • USD/IDR 16.297   14,00   0,09%
  • IDX 7.179   38,11   0,53%
  • KOMPAS100 1.031   5,07   0,49%
  • LQ45 784   4,64   0,60%
  • ISSI 235   1,24   0,53%
  • IDX30 405   2,51   0,62%
  • IDXHIDIV20 466   3,43   0,74%
  • IDX80 116   0,71   0,62%
  • IDXV30 118   1,37   1,17%
  • IDXQ30 129   0,69   0,53%

Ekonom AS Arthur Laffer: Pajak Rendah dan Merata Dorong Kepatuhan Wajib Pajak


Rabu, 18 Juni 2025 / 20:28 WIB
Ekonom AS Arthur Laffer: Pajak Rendah dan Merata Dorong Kepatuhan Wajib Pajak
ILUSTRASI. Petugas melayani warga saat konsultasi pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Ternate, Maluku Utara, Senin (26/5/2025). KPP Pratama Ternate mencatat realisasi penerimaan pajak hingga 31 Maret 2025 mencapai Rp345 miliar atau 13,3 persen dari total target di tahun 2025 sebesar Rp2,5 triliun dengan capaian per jenis pajak tertinggi yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan NIlai (PPN) dalam negeri dan pajak PPN impor. ANTARA FOTO/Andri Saputra/nym.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom terkemuka asal Amerika Serikat (AS) Arthur B. Laffer menekankan pentingnya sistem perpajakan yang adil, sederhana, dan tidak diskriminatif terhadap kelompok mana pun.

Menurut Laffer, tarif pajak yang rendah namun merata justru lebih efektif dalam mendorong kepatuhan pajak, termasuk dari kalangan orang kaya.

Baca Juga: Polri-Ditjen Pajak Bidik Shadow Economy, Potensi Penerimaan Sentuh Rp 663 Triliun

“Jika Anda memiliki pajak tetap (flat tax) dengan tarif rendah dan basis yang luas, maka orang kaya akan tahu bahwa mereka memang seharusnya membayar pajak,” ujar Laffer dalam acara CNBC Economic Outlook 2025, Rabu (18/6).

Laffer menilai, masalah muncul ketika sistem pajak dianggap tidak adil, terutama oleh kelompok berpenghasilan tinggi.

Ketika merasa dibebani secara tidak proporsional, mereka cenderung mencari celah untuk menghindari kewajiban pajak, mulai dari menyewa pengacara dan akuntan, hingga melobi pejabat pemerintah.

“Jika penghasilan saya 10 kali lipat dari Anda, maka saya harus membayar pajak 10 kali lipat, bukan 50 kali lipat. Itu tidak adil,” tegasnya.

Ia juga mengkritik kebijakan fiskal yang pernah diberlakukan di Inggris pada masa Perdana Menteri Gordon Brown, di mana tarif pajak tertinggi dinaikkan dari 40% menjadi 50%.

Menurut Laffer, kebijakan tersebut justru menjadi bumerang. Ekonomi Inggris melemah, penerimaan pajak turun, dan angka pengangguran meningkat.

“Itu adalah bencana,” ujarnya.

Laffer, yang dikenal sebagai pencetus kurva Laffer sebuah teori ekonomi yang menunjukkan hubungan antara tarif pajak dan penerimaan negara.

Di mana menekankan bahwa desain sistem perpajakan yang tepat sangat krusial dalam menciptakan ekonomi yang tumbuh dan inklusif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Executive Finance Mastery

[X]
×