kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.943.000   -7.000   -0,36%
  • USD/IDR 16.340   46,00   0,28%
  • IDX 7.108   -48,06   -0,67%
  • KOMPAS100 1.036   -7,15   -0,69%
  • LQ45 793   -7,13   -0,89%
  • ISSI 231   -1,02   -0,44%
  • IDX30 412   -2,67   -0,64%
  • IDXHIDIV20 483   -2,57   -0,53%
  • IDX80 116   -0,87   -0,75%
  • IDXV30 119   -0,80   -0,67%
  • IDXQ30 133   -0,85   -0,64%

Sri Mulyani Tolak Pajak Flat: Orang Kaya dan Buruh UMR Tak Bisa Dipajaki Sama!


Rabu, 18 Juni 2025 / 13:36 WIB
Sri Mulyani Tolak Pajak Flat: Orang Kaya dan Buruh UMR Tak Bisa Dipajaki Sama!
ILUSTRASI. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan sistem pajak tidak bisa disamakan dengan sistem pajak flat seperti yang disarankan oleh ekonom AS Arthur B.Laffer.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa sistem pajak Indonesia tidak bisa disamakan dengan sistem pajak flat seperti yang disarankan oleh ekonom Amerika Serikat (AS) Arthur B.Laffer.

Menurutnya, prinsip keadilan dan distribusi sosial menjadi alasan utama mengapa Indonesia menerapkan tarif pajak progresif.

"Kalau yang sangat kaya dengan yang pendapatannya hanya di UMR bayar pajaknya sama, setuju nggak? Saya hampir yakin semua bilang nggak setuju," ujar Sri Mulyani dalam acara CNBC Economic Outlook 2025, Rabu (18/6).

Sri Mulyani menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem pajak penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP) dengan lima lapisan tarif, yakni 5%, 15%, 25%, 30%, dan 35%. 

Baca Juga: Sri Mulyani: Realisasi Belanja Negara hingga Mei 2025 Capai Rp 1.016,3 Triliun

Sistem ini dibuat berdasarkan prinsip keadilan, di mana masyarakat berpendapatan tinggi dikenakan tarif lebih besar dibanding masyarakat berpendapatan rendah.

"Yang pendapatannya di atas Rp 5 miliar dengan yang pendapatannya Rp 60 juta per tahun, ya seharusnya ratenya beda. Itu asas keadilan," katanya.

Di sisi lain, ia juga menyebut bahwa tarif pajak penghasilan korporasi di Indonesia sebesar 22% tergolong moderat dibanding negara lain. Beberapa negara memiliki tarif lebih tinggi, bahkan mencapai 30–35%.

Menurut Sri Mulyani, pajak progresif merupakan bagian dari instrumen fiskal untuk mengurangi ketimpangan. 

Ia mencontohkan bahwa tanpa intervensi pemerintah melalui belanja negara, kelompok masyarakat miskin tidak akan bisa bersaing secara adil dalam sistem pasar.

"Nggak mungkin anak-anak yang bayinya tidak diimunisasi atau yang gizinya kurang bisa bersaing secara sempurna dan adil dengan mereka yang bayinya gizinya baik," ucapnya.

Pemerintah, lanjut Sri Mulyani, harus hadir menyediakan layanan dasar seperti sekolah, kesehatan, gizi, hingga infrastruktur publik, agar masyarakat bisa berkompetisi secara sehat dalam pasar terbuka.

Baca Juga: Singgung Efisiensi, Sri Mulyani: Belanja APBN Baru Terserap 28,1% pada Mei 2025

Sebelumnya, Ekonom ternama asal Amerika Serikat (AS), Arthur B.Laffer, menekankan pentingnya sistem perpajakan yang netral dan tidak diskriminatif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Laffer memberikan kritik kebijakan pajak yang memberi perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu, baik secara positif maupun negatif.

"Anda perlu memiliki pajak tetap dengan tarif rendah dan cakupan luas sehingga anda tidak mendiskriminiasi orang-orang yang sukses," ujar Laffer dalam acara yang sama.

Menurut pencetus teori Laffer Curve tersebut, sistem perpajakan yang ideal adalah flat tax atau pajak daftar, di mana satu tarif untuk semua wajib pajak, yang dirancang hanya untuk mengumpul penerimaan negara secara efisien, bukan sebagai alat intervensi sosial.

Selanjutnya: Link Live Streaming Man City vs Wydad AC & Jadwal Piala Dunia Antarklub 2025

Menarik Dibaca: Promo Alfamart Spesial Liburan 16-30 Juni 2025, Aneka Snack-Mainan Harga Spesial

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Video Terkait



TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×