kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

DPR ramai-ramai tolak usulan penerapan PPN sembako, kesehatan, dan jasa pendidikan


Senin, 13 September 2021 / 20:04 WIB
DPR ramai-ramai tolak usulan penerapan PPN sembako, kesehatan, dan jasa pendidikan
ILUSTRASI. Menteri Keuangan Sri Mulyani di DPR


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pemerintah tengah mengajukan usulan untuk mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan tertentu. Tujuannya, untuk menciptakan asas keadilan dalam membayar pajak, sekaligus meningkatkan penerimaan pajak.

Adapun rencana tersebut diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Beleid tersebut kini tengah dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI.

Anggota Panja RUU KUP Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam menyampaikan, Fraksi PKS menolak penerapan PPN atas sembako, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa sosial, dan jasa pelayanan keagamaan.

Menurut dia, kelima rencana perluasan basis pajak tersebut merupakan hak dasar seluruh masyarakat. Terlebih kenyataannya, penerimaan PPN disumbang dari konsumsi masyarakat yang justru kebanyakan datang dari  masyarakat kalangan ekonomi miskin dan menengah. Sehingga, rencana tersebut justru dikhawatirkan akan jadi beban masyarakat.

Sementara itu, kontribusi PPN tersebut malah tidak tercermin pada realisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh).

Baca Juga: Sri Mulyani: Indonesia telah lakukan reformasi perpajakan dalam 4 periode

Kata Ecky, penerimaan PPh orang miskin menengah seperti karyawan dan buruh yang tercermin pada pos PPh Pasal 21 justru lebih banyak dibandingkan PPh orang pribadi yang merupakan representasi pajak orang kaya.

Oleh karenanya Fraksi PKS meminta agar pemerintah dalam RUU KUP juga menaikkan threshold penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari yang berlaku saat ini sebesar Rp 4,5 juta per bulan menjadi Rp 8 juta per bulan.

“Sehingga yang berpenghasilan tetap Rp 8 juta ke bawah tidak dikenakan ke PPh 21. Ini akan berkontribusi terhadap daya beli masyarakat yang penghasilannya Rp 8 juta ke bawah, sehingga menambah konsumsi rumah tangganya,” kata dia saat Rapat Kerja dengan Kemenkeu, Senin (13/9).

Sejalan, Anggota Panja RUU KUP dari Fraksi Partai Nasdem Fauzi Amor juga menolak rencana pengenaan PPN atas sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan karena dianggap akan memberatkan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

“Dan ini merupakan  kebutuhan dasar pokok manusia yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 sehingga pemerintah harus menjamin pemenuhannya dalam bentuk apapun dan tidak malah mempersulit,” ujar Fauzi saat Rapat Kerja bersama dengan Kemenkeu, Senin (13/9).

Untuk mengkompensasi penolakan atas perluasan objek PPN, Fauzi mengatakan pihaknya mendorong pemerintah sebagaimana dalam RUU KUP untuk mengejar PPh atas perusahaan digital asing yang telah mengambil manfaat ekonomi dari Indonesia, meski tak memiliki kehadiran fisik di dalam negeri.

Fraksi Partai Nasdem juga sepakat dengan adanya rencana pajak karbon, ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) berupa plastik dan minuman berpemanis.

Di sisi lain, Anggota Panja RUU KUP Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan, pemerintah harus memperhatikan waktu pelaksanaan kebijakan dalam RUU KUP.

Sehingga, Fraksi Partai Golkar meminta agar pemberlakuan reformasi perpajakan tersebut dapat didesain lebih longgar dan fleksibel dengan menyesuaikan kondisi pemulihan ekonomi global dan domestik.

“Hal ini untuk memastikan masyarakat dan dunia usaha tidak tertimpa beban yang terlampau berat di saat perekonomian mereka belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi,” kata Misbakhun saat Rapat Kerja bersama dengan Kemenkeu, Senin (13/9).

Miskbahun juga menekankan, apabila sebagian RUU KUP diterapkan pada 2022 atau 2023, maka pemerintah harus mampu mencapai konsolidasi fiskal. Sebab, pada 2023 ekonomi dan penerimaan pajak musti menggeliat agar defisit anggaran bisa kembali di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB).

Baca Juga: PPN sembako hanya dikenakan untuk beras dan daging mahal

“Penerimaan pajak yang selama 13 tahun ini tidak pernah tercapai, maka harus bisa capai target. Sehingga tax rasio naik, utang berkurang, ruang fiskal yang lebar, dan tax based yang luas. Dan Indonesia sebagai negara yang mandiri dan berdaulat dari sisi pembiayaan pembangunan,” ujar dia.

Dalam kesempatan sama, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menjelaskan terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak  barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dikenakan PPN dengan tarif PPN yang lebih rendah dari tarif normal. Atau dapat tidak dipungut PPN serta bagi masyarakat yang tidak mampu dapat dikompensasi dengan pemberian subsidi.

“Dengan demikian azaz keadilan semakin diwujudkan karena bisa saja bicara hal yang sama yaitu makanan pokok, pendidikan, dan kesehatan karena range dari konsumsi ini bisa dari yang sangat basic sampai yang paling sovicicated menyangkut pendapatan atau tingkat pendapatan yang sangat tinggi,” kata Sri Mulyani saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (13/9).

Selanjutnya: Sri Mulyani: Pengenaan alternative minimum tax hanya untuk wajib pajak badan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×