kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Politisi PPP minta akhiri dualisme rusun subsidi


Jumat, 02 Agustus 2013 / 17:43 WIB
Politisi PPP minta akhiri dualisme rusun subsidi
ILUSTRASI. Yoga


Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Djumyati P.

JAKARTA. Bermimpi punya rumah susun bersubsidi? Mungkin Anda bisa menguburkan dulu mimpi itu sampai pemerintah bisa sedikit kompak untuk menjalankan peraturan. Sebagaimana diketahui, Peraturan Menteri Keuangan No 31 Tahun 2008 memuat ketentuan rumah susun subsidi yang mendapat pembebasan PPN. Antara lain memiliki luas lebih dari 21 m2 dan maksimal 36 m2, serta ditujukan bagi orang pribadi berpenghasilan maksimal Rp 4,5 juta per bulan dan memiliki NPWP, serta memiliki harga jual maksimal Rp 144 juta.

Sementara Kemenpera merasa sudah saatnya merevisi harga rumah mengingat harga-harga yang melonjak tinggi.  Dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat (Permenpera) No 8 Tahun 2012 harga maksimum rumah susun bersubsidi adalah Rp 216 juta. Dualisme kebijakan ini membuat masyarakat yang membeli rumah susun subsidi mengacu patokan Kemenpera tetap tidak akan memperoleh insentif pembebasan pajak.

Anggota Komisi V DPR, Muhammad Arwani Thomafi, mengkritik adanya dualisme aturan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi rumah subsidi. Menurutnya, masalah ini adalah persoalan klasik yang banyak terjadi di Kementerian/Lembaga.

Menurut Arwani, semestinya Kementerian Keuangan dalam membuat PMK mengenai pembebasan PPN bagi rumah subsidi melakukan koordinasi dengan Kementerian Perumahan Rakyat. "Jadinya ya seperti ini, aturan Kementerian satu bertabrakan dengan Kementerian lain," jelas Arwani.

Pria yang juga Wakil Sekretaris Jenderal DPP PPP tersebut menyayangkan dualisme aturan yang terjadi saat ini. Menurutnya, kondisi seperti ini tentu merugikan masyarakat menengah bawah yang amat membutuhkan rumah susun bersubdisi. "Kondisi ini sebetulnya persoalan klasik. Antar instansi minim koordinasi sebelum menerbitkan aturan," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×