kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.794   1,00   0,01%
  • IDX 7.460   -19,91   -0,27%
  • KOMPAS100 1.153   -1,43   -0,12%
  • LQ45 914   0,41   0,05%
  • ISSI 225   -1,12   -0,49%
  • IDX30 472   0,95   0,20%
  • IDXHIDIV20 569   1,36   0,24%
  • IDX80 132   0,02   0,01%
  • IDXV30 140   0,92   0,66%
  • IDXQ30 157   0,24   0,16%

Donald Trump atau Joe Biden jadi Presiden AS, ini plus minusnya bagi Indonesia


Rabu, 04 November 2020 / 20:00 WIB
Donald Trump atau Joe Biden jadi Presiden AS, ini plus minusnya bagi Indonesia


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) berlangsung ketat. Namun, siapa pun yang kelak terpilih menjadi Presiden AS, apakah Donald Trump atau kandidat dari Partai Demokrat Joe Biden, akan ada dampaknya bagi Indonesia.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani mengatakan, kedua kandidat itu memiliki pro kontra, dan masing-masing kandidat memiliki gaya yang berbeda serta efek kebijakan yang berbeda pula.

"Kami tidak bisa bilang bahwa pemerintahan Trump atau Biden, presiden dari Partai demokrat atau Republik lebih baik atau lebih buruk untuk Indonesia dan pelaku usaha Indonesia. Hanya saja gayanya berbeda dan efek kebijakannya juga berbeda," ujar Shinta kepada Kontan.co.id, Rabu (4/10).

Dia pun berpendapat, Indonesia yang perlu fleksibel dalam menyesuaikan diri, baik dari sisi daya tarik iklim usaha dan investasi di dalam negeri maupun dalam melakukan lobi. Dengan begitu, Indonesia masih tetap mendapatkan keuntungan dari kebijakan Presiden AS.

Baca Juga: Industri manufaktur intip peluang pasar ekspor dari fasilitas GSP Amerika Serikat

Shinta pun membandingkan kepemimpinan keduanya. Menurut Shinta, kepemimpinan Trump sangat berbeda dengan pemerintahan Demokrat. Trump lebih suka dengan kesepakatan bilateral, ini memungkinkan Indonesia melakukan lobi dan menciptakan kesepakatan perdagangan/investasi bilateral pula.

Menurutnya, kesepakatan bilateral tersebut hampir tidak mungkin bisa ada bila Presiden AS bukan Donald Trump.

"Namun, di sisi lain Trump juga tipe presiden yang bergerak berdasarkan sentimennya sendiri dan cenderung punitive atau menghukum pada negara yang tidak disukai sehingga menciptakan uncertainty bagi pelaku usaha negara tersebut," jelasnya.

Menurut Shinta, Indonesia juga ikut terdampak gaya pemerintahan Trump tersebut. Ini melihat,  sepanjang pemerintahan Trump, Indonesia untuk pertama kalinya di-review sampai dua kali untuk mempertahankan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP).  Akibat kebijakan Trump pula,  mekanisme dispute settlement di WTO menjadi tidak berfungsi, sehingga kasus-kasus yang ingin dimenangkan Indonesia melalui WTO sulit memiliki perkembangan yang cepat.

Dia juga berpendapat, kebijakan Trump terhadap China turut menciptakan peluang ekonomi bagi Indonesia. Namun, Shinta menilai, Indonesia tidak memperoleh keuntungan yang berarti dari peralihan perdagangan juga Investasi dari AS maupun China sepanjang 2018-2019. Bahkan, investasi maupun ekspor Indonesia-AS cenderung lebih rendah di 2019 bila dibandingkan dengan 2019.

"Karena perang dagang pun  nilai tukar kita jadi melemah pasca Q3 2018 dan sampai sekarang belum bisa mencapai level 13.000 lagi. Trump juga membuat Indonesia diklasifikasikan sebagai “negara maju” dalam hal penerapan mekanisme anti subsidi di AS sehingga ke depannya Indonesia lebih sulit memenangkan sengketa anti-subsidi bilateral dengan AS," terang Shinta.

Baca Juga: Perpanjangan fasilitas GSP jadi peluang menggenjot ekspor produk tekstil ke AS


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×