kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

DJP semakin galak menertibkan administrasi pajak ekonomi digital


Minggu, 14 Juli 2019 / 16:54 WIB
DJP semakin galak menertibkan administrasi pajak ekonomi digital


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jendral Pajak (DJP) nampaknya semakin galak menertibkan administrasi pajak ekonomi digital. Sebagai Direktorat baru Direktorat Data Informasi Perpajakan (DDIP) dan Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi (DTIK) akan berkecimpung di ranah ekonomi digital.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pada dasarnya kedua direktoral baru itu akan mengumpulkan data dan informasi internal seluruh aspek perpajakan. Salah satu fokusnya adalah pajak ekonomi digital.

Direktur Potensi, Kepatuhan, Penerimaan Pajak Direktorat Jendral Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) Yon Arsal mengatakan pajak ekonomi digital mengacu kepada studi the Organisation for Economic Co-operation and Development (OCED) untuk menetapkan skema pengenaan pajak bagi industri digital.

Baca Juga: Sinyal penurunan bunga The Fed masih menjadi energi bagi rupiah

Ruang lingkup pajak ekonomi digital yang dimaksud antara lain di media sosial, market place, fintech, internet, dan sebagainya. Dari sana Yon bilang DJP berencana mengumpulkan seluruh data base serta informasi penjual dan jumlah transaksi. Sehingga DDIP dan DTIK tau persis potensi pajak dalam ekonomi digital.

Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengatakan kesulitan terbesar adalah untuk masuk ke ekonomi digital via media sosial. Dalam media maya ada banyak lini bisnis mulai dari periklanan hingga jual-beli barang.

Ignatius menegaskan jika pemerintah ingin menghimpun data periklanan masih realistis untuk didapat. Namun, data pedagang di media sosial akan sulit diakses. Sebab, pedagangnya di luar dari jangkauan perusahaan media sosial.

Baca Juga: Ini faktor yang menghambat hilirisasi batubara sampai saat ini

Dia menilai ada dua upaya yang dapat dilakukan pemerintah guna menertibkan administrasi pajak di media sosial. Pertama, menegaskan kepada perusahaan media sosial untuk melaporkan jumlah penjual. Kedua, melakukan razia yang langsung dikenakan pajak final. “Data penjual mungkin bisa didapat, tapi jumlah transaksi yang sulit,” kata Ignatius kepada Kontan.co.id, Jumat (12/7).

Sementara, dari pajak e-commerce atau market place, Ignatius mengaku tidak tahu apakah pelapak di sana sudah bayar pajak atau belum. Alasannya hal itu bukan menjadi tanggung jawab market place. Selebihnya pembayaran pajak oleh pelapak secara offline.

Di sisi lain, market place bersedia memberikan data penjual dan transaksi. Namun, mereka mengimbau hal itu juga perlu ditegakkan ke pada seluruh lini ekonomi digital. “Kalau aturan berat sebelah, pelapak malah kabur ke media sosial,” ungkap Ignatius.

Baca Juga: IHSG bergerak stagnan dalam sepekan meski banyak isu positif, ini sebabnya

Sementara kendala dari pajak periklanan dan jual-beli di internet adalah beberapa perusahaan tidak mempunyai perwakilan di Indonesia. Kata Ignatius transaksi via internet banyak yang berasal dari luar negeri biasanya dari Irlandia, China, dan Singapura. Padahal pajak dari sana jauh lebih besar di bandang dari market place.

Sebab, pajak iklan biasanya masuk ke Pajak Penambahan Nilai (PPN) yang dikenakan tarif 10%. Sementara dari market place 90% pelapak merupakan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang memiliki penghasilan kurang dari Rp 4,8 miliar per tahun dimana harus membayar pajak 0,5% per tahun.

Selanjutnya, pajak di perusahaan juga fintech ditertibkan. Ketua Harian Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Kuseryansyah mengungkapkan pajak di fintech tengah dalam pembahasan asosiasi terkait platform peer to peer (P2P) lending.

Baca Juga: Kinerja Emiten Properti Tak Seragam

Dalam skema kerja dana P2P berasal dari pemberi pinjaman (lander) yang bisa terdiri dari perorangan atau perusahaan. Kemudian akan disalurkan kepada peminjam lewat perusahaan fintech P2P.

Berdasarkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak ada batasan lender dalam memberikan pinjaman. Namun, oleh perusahaan fintech P2P ada batasan maksimum total pemberian pinjaman sebesar Rp 2 miliar.

Untuk itu, Kuseryansyah mengatakan kegiatan ekonomi di fintech P2P masih tergolong kena pajak UMKM. Beberapa data transaksi fintech P2P terdapat di pusat data yang tersentralisasi.

Baca Juga: STNK mati dua tahun, ini penjelasan dari polri

Dia bilang, sejauh ini fintech P2P sudah berkoordinasi dan mendapat persetujuan oleh OJK. Bahkan semua transaksi jumlah pinjaman yang tersalurkan, jumlah lender, rasio kredit bermasalah rutin dilaporkan ke OJK.

“Saya rasa perlu sosialisasi dengan DJP lebih lanjut, skema data dan informasi apa yang ingin didapat dari kami,” kata Kuseryansyah kepada Kontan.co.id, Minggu (14/7).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×