kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

DJKN masih upayakan penyelesaian kewajiban 22 obligor


Kamis, 01 Maret 2018 / 17:37 WIB
DJKN masih upayakan penyelesaian kewajiban 22 obligor
ILUSTRASI. Obligor BLBI


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan saat ini masih terus berupaya menyelesaikan kewajiban 22 obligor terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Jumlah utang dari 22 obligor tersebut nilainya masih sekitar Rp 31,3 triliun.

Kepala Sub Direktorat Pengelolaan Kekayaan Negara (PKN) II, DJKN, Kementerian Keuangan Suparyanto mengatakan, aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan PT Perusahaan Pengelola Aset meliputi aset kredit, properti, inventaris, rekening nostro dan saham.

Ia mengatakan, pihaknya tengah mencari terobosan selain penyelesaian konvensional melalui lelang. Salah satunya adalah memanfaatkan aset yang dimiliki para obligor untuk dikembangkan sehingga menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban para obligor.

“Ada 22 obligor yang masih kami urus di PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) dan KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang). Jumlah utangnya mencapai Rp31,3 triliun,” katanya, Rabu (28/2).

Adapun beberapa obligor yang telah menyelesaikan kewajiban di antaranya adalah Dewanto Kurniawan sebagai pemilik Bank Deka, Omar Putih Rai sebagai pemilik Bank Tamar dan Group Yasonta sebagai pemilik Bank Namura.

Selain itu ada juga Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), karena telah mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL). Namun SKL terhadap BDNI saat ini masih dipermasalahkan.

Terkait itu, Suparyanto juga mengaku tidak mengerti. Padahal kata dia, secara prosedural sudah dilakukan sesuai Inpres No 8/2002 terkait penyelesaian kewajiban pemegang saham.

“Pengeluaran surat lunas sudah melalui prosedur itu, di mana untuk SKL BDNI itu skemanya adalah MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement), di mana antara kewajiban obligor itu dibayar dengan sejumlah aset milik obligor yang diserahkan,” ujarnya.

Dalam penyelesaian kewajiban obligor BLBI, selain skema MSAA, ada juga skema Akta Pengakuan Utang (APU), dan Master of Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA). Untuk skema MRNIA dan APU ini, obligor belum menyelesaikan kewajibannya dan kini ditangani Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).

Kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap obligor Bantuan Likuiditas Bank Idonesia (BLBI) yang sekarang kembali mencuat, dinilai tak seharusnya kembali menyasar subjek penerima SKL. Selain terkait kepastian hukum, pemerintahan saat ini sendiri mengaku masih konsisten dengan keputusan yang diambil pemerintahan sebelumnya.

Ahmad Heri Firdaus, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan, tidak dibenarkan jika saat ini SKL BDNI kembali dipermasalahkan karena kurang bayar.

Sebab menurutnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pemberi utang pada waktu itu sudah menyatakan aset yang diserahkan untuk membayar utang pada waktu itu mampu melunasi utangnya.

Oleh karena itu ia menyayangkan jika ada pandangan bahwa pemerintah seolah-olah kecolongan kemudian dianggap BDNI tidak transparan karena menjual asetnya di bawah nilai taksiran pada saat itu.

“Ketika ternyata beberapa tahun kemudian itu dijual dan nilainya tidak sesuai jumlah utang yang diberikan, ini kesalahannya ada di pihak yang pemberi utangan. Kenapa tidak dilihat lagi yang benar, harga asetnya segala macam,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×