kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45861,67   -2,73   -0.32%
  • EMAS1.368.000 0,59%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Diskon Pajak Korporasi Belum Signifikan Dorong Perekonomian RI


Rabu, 12 Juni 2024 / 22:04 WIB
Diskon Pajak Korporasi Belum Signifikan Dorong Perekonomian RI


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah tampaknya perlu mengevaluasi kembali kebijakan diskon pajak korporasi, yakni tax holiday dan tax allowance.

Hal ini dikarenakan realisasi penanaman modal dari investor yang memanfaatkan insentif tersebut masih sangat minim. Apalagi, di bawah rezim pajak minimum global maka pemberian insentif tax holiday sudah tidak efektif lagi.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), nilai pemanfaatan insentif tax holiday dan tax allowance sepanjang 2018-2022 mencapai Rp 20 triliun.

Nah, dari nilai insentif yang diguyur pemerintah tersebut telah mendatangkan realisasi investasi sebesar Rp 370 triliun. Dengan realisasi tersebut, pemerintah berbangga lantaran insentif pajak tersebut terbukti memberikan efek berganda terhadap perekonomian nasional.

Sebut saja peningkatan penyerapan tenaga kerja yang berdampak kepada bertambahnya penerimaan ke kas negara.

Baca Juga: Kepatuhan Wajib Pajak Diharapkan Meningkat Lewat Coretax System

"Kita melihat dan mengorbankan sesuatu untuk penerimaan negara dalam jangka pendek untuk menghasilkan investasi, akan tetapi investasiĀ  ini menghasilkan lapangan kerja, PDB dan penerimaan perpajakan di kemudian hari," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu, Senin (10/6).

Dengan adanya dampak ekonomi tersebut, pemerintah masih akan terus menawarkan insentif pajak kepada investor agar bisa menambah kantong kas negara.

"Return of investment tertentu menghasilkan profit dan penerimaan perpajakan dari nilai tax holiday dan tax allowance yang kita berikan," jelas Febrio.

Namun, tampaknya pemerintah tidak boleh berbangga begitu saja. Pasalnya, apabila dibandingkan dengan realisasi investasi sepanjang 2018-2022, efek pemberian insentif pajak tersebut masih jauh tertimpang.

Berdasarkan data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi sepanjang 2018-2022 mencapai Rp 4.465 triliun. Artinya, realisasi investasi yang dihasilkan oleh investor penikmat diskon pajak tersebut hanya setara 8,28% dari total investasi yang mengalir di dalam negeri.

Melihat kondisi tersebut, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar sependapat bahwa diskon pajak tersebut perlu dievaluasi kembali oleh pemerintah.

Hal ini karena pemberian insentif tersebut belum mendorong produk domestik bruro (PDB) secara keseluruhan. Apalagi, pemberian insentif tersebut juga sudah tidak relevan lagi diberikan apabila konsensus pajak global diterapkan.

"Betul, saya mendukung hal tersebut. Perlu ada evaluasi. Terlebih kita menghadapi Pilar Dua pada tahun depan," kata Fajry kepada Kontan.co.id, Senin (12/6).

"Kalau dalam konteks mendorong PDB secara signifikan tentu belum," imbuhnya.

Baca Juga: Kemenkeu Sebut Belanja Perpajakan Mayoritas Dimanfaatkan Para UMKM

Kendati begitu, Fajry mengakui bahwa sebetulnya pemberian insentif pajak tersebut masih memiliki dampak positifnya.

"Ada penciptaan lapangan kerja. Ada penerimaan pajak tambahan dari jenis pajak lainnya, dari penambahan PPh 21 dan sebagainya," terang Fajry.

Selain itu, insentif tax holiday juga diberikan kepada beberapa sektor saja yang disebut sebagai industri pionir. Sebut saja industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi.

Dengan begitu, ada nilai tambah yang didapatkan daripada Indonesia hanya mengekspor dalam bentuk crude atau mentah saja. Tak hanya itu, Indonesia juga menjadi tidak bergantung dengan bahan bakar minyak (BBM) dari luar negeri.

"Akan tetapi, investasi ini kan bertahap. Bangun pabrik bertahap. Ada waktu yang dibutuhkan. Jadi, ada perbedaan antara realisasi investasi dengan komitmen investasi. Ini yang sering salah kaprah," katanya.

Sejatinya, Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) sudah lama mendorong negara-negara berkembang untuk selektif dalam memberikan insentif pajak, terutama insentif tax holiday apabila Pilar Dua Konsensus Pajak global diterapkan.

Dalam Pilar Dua: Global Anti Base Eresion (GloBE) tersebut mensyaratkan penerapan pajak penghasilan (PPh) korporasi dengan tarif minimun sebesar 15%.

Pajak minimum tersebut akan diterapkan pada perusahaan multinasional dengan penerimaan di atas EUR 750 juta setahun.

Pilar Dua juga memberi mandat kepada semua yurisdiksi yang tarif PPh badan atas bunga, royalti, dan pembayaran lain kurang dari 9%, maka harus mengikuti ketentuan subject to tax rule (STTR).

Baca Juga: Tebar Diskon Pajak, Pemerintah Sudah Raup Investasi Rp 370 Triliun

Mengutip dari laporan yang berjudul Tax Incentives and the Global Minimum Corporate Tax: Reconsidering Tax Incentives after the GloBE Rules, OECD mengatakan bahwa pemberian tax holiday kepada perusahaan multinasional yang ada di dalam pilar Dua akan merugikan yurisdiksi tersebut.

OECD menyebut, akan ada dua kerugian yang dialami ketika penerapan pajak minimum global tersebut mulai berlaku.

Pertama, negara atau yurisdiksi tersebut tetap harus mengelola pemberian insentif yang tidak bermanfaat.

Kedua, negara tersebut akan kehilangan potensi penerimaan pajak, sementara negara lain akan mendapatkan manfaat pajak dari pemberlakuan top-up tarif pajak dari ketentuan global tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Pre-IPO : Explained Supply Chain Management on Efficient Transportation Modeling (SCMETM)

[X]
×