Reporter: Bidara Pink | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 54/2020, Pemerintah mematok defisit anggaran sebesar 5,07% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, seiring dengan semakin membengkaknya kebutuhan untuk melawan pandemi Covid-19, defisit tahun ini diproyeksikan kian melebar ke level 6,34% PDB.
Salah satu sumber pembiayaan APBN 2020 adalah dengan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Untuk itu, di sepanjang tahun ini, pemerintah berencana menerbitkan SBN neto sebesar Rp 1.497,6 triliun dan SBN bruto sebesar Rp 1.533,1 triliun.
Baca Juga: Gubernur BI: Cadangan devisa meningkat di bulan Mei 2020
Ekonom BCA David Sumual melihat, besaran rencana penerbitan tersebut masih memungkinkan diserap oleh pasar di masa sekarang. Menurutnya, ini didukung oleh sentimen yang masih positif serta inflasi yang rendah dan yield SBN masih relatif menarik.
"Sentimennya masih positif di pasar dan aliran modal asing juga masuk, apalagi terutama ke SBN dalam tiga minggu terakhir. Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) juga tak menutup kemungkinan untuk masuk lewat non-competitive bidder, green shoe option, dan private placement," kata David kepada Kontan.co.id, Minggu (7/6).
David pun memerinci sumber permintaan SBN. Pertama, permintaan dari perbankan. Saat ini, ia melihat daya serap perbankan bisa lebih besar karena ada tambahan likuiditas dari Bank Indonesia (BI) yang mendorong bank untuk membeli SBN.
Kedua, permintaan dari institusi-institusi dalam negeri, seperti asuransi, dana pensiun, mutual fund, dan lain-lain. Ketiga, dari investor asing. Selain itu mengacu pada Undang-Undang (UU) no. 2 tahun 2020, sejak 16 April 2020, BI bisa terjun ke pasar perdana untuk melakukan pembelian SBN dengan porsi tertentu.
Ibarat peribahasa ‘hinggap bak langau, titik bak hujan’. Kondisi perekonomian selalu diliputi ketidakpastian yang bisa menimbulkan kemungkinan kalau pasar tidak bisa menyerap semua dana yang dibutuhkan oleh pemerintah.