Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Minerba menghadapi tiga gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sudah tiga kali menggelar persidangan, proses gugatan saat ini sedang dalam penjelasan ahli.
Ketiga gugatan tersebut terdiri dari satu gugatan berupa uji formil yang menggugat proses pembuatan UU Minerba, serta dua gugatan berupa uji materiil, yang menolak sejumlah substansi atau pengaturan di dalam undang-undang yang disahkan Presiden Joko Widodo pada 10 Juni 2020 tersebut.
Ketiga gugatan tersebut terdaftar pada Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020, Perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020, dan Perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020.
Pengamat hukum pertambangan yang juga sebagai kuasa pemohon uji formil UU Minerba Ahmad Redi mengatakan, sejatinya ada lima permohonan gugatan UU Minerba. Namun, dua lainnya dinyatakan gugur lantaran dinilai tidak memenuhi persyaratan uji materiil.
Baca Juga: Selain insentif, Kementerian ESDM juga petakan potensi hilirisasi batubara
"Total ada lima permohonan, dua permohonan gugur di awal, mereka uji materiil. Di MK, permohonan diseleksi di awal, sidang pemeriksaan pendahuluan," jelas dia kepada Kontan.co.id, Jumat(20/11).
Selanjutnya, ketiga gugatan digabung dalam satu persidangan. Hingga sekarang, sudah ada tiga sidang yang dilangsungkan. Terakhir digelar pada Rabu (18/11) lalu.
"Sidang sudah tiga kali. Sekarang sedang tahapan pemeriksaan ahli. Kemarin (Rabu, 18/11) pemohon uji formil menghadirkan Prof. Susi Dwi Harijanti dari FH Unpad dan Dr. Wicipto Setiadi dari FH UVN Jakarta," sambung Redi.
Jika uji formil menggugat proses pembahasan dan pengesahan UU Minerba yang dinilai cacat, uji materiil menggugat substansi, khususnya terhadap Pasal 35 dan Pasal 169 A UU Minerba. Adapun, Pasal 35 terkait usaha pertambangan yang dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat.
Sedangkan Pasal 169 A berisi tentang jaminan perpanjangan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian, dengan dua kali perpanjangan masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 tahun.
Redi pun optimistis, gugatan terhadap UU Minerba akan dikabulkan oleh MK. Dengan begitu, UU No. 3 Tahun 2020 menjadi tidak berlaku dan kembali ke UU Minerba lama, yakni UU No. 4 Tahun 2009.
Dia berharap, keputusan dari gugatan ini sudah bisa diputuskan pada tahun 2020 ini. "Kami selalu optimistis. Kami hanya ingin Minerba kembali ke Pasal 33 UUD NRI 1945. Bila dikabulkan, maka UU No. 3/2020 tidak berlaku dan kembali sepenuhnya ke UU No. 4/2009," pungkas Redi.
Asal tahu saja, UU No. 3 Tahun 2020 alias UU Minerba baru itu disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 10 Juni 2020. Kemudian diundangkan di hari yang sama oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Sejak penyusunannya, perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 ini memang kontroversial. Meski banyak penolakan, DPR dan Pemerintah tetap melanjutkan pembahasan hingga akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 12 Mei 2020.
Meski banyak gugatan, namun pemerintah tak menghentikan langkah untuk membuat aturan pelaksanaan dari UU Minerba baru itu. Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaludin mengatakan ada 3 Rancangan PP yang sedang dibahas pemerintah.
Satu diantaranya, yakni RPP tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan minerba sudah masuk tahap finalisasi di Sekretariat Negara (Setneg). Nantinya, RPP tersebut akan diparaf oleh Menteri dan diserahkan ke Presiden untuk dimintai tandatangan.
Baca Juga: Dirjen Minerba: Tiga rancangan PP dari UU Minerba sedang diproses pemerintah
"Satu PP tentang pengusahaan sudah sampai di Setneg, finalisasi. Nanti paraf pada Menteri, habis itu ke Presiden," kata dia saat ditemui di kantornya, Senin (16/11).
Sementara itu, kedua RPP lainnya masih dalam tahap harmonisasi atau dibahas antar kementerian dan lembaga (K/L) terkait. "Dua (RPP) lagi sudah hampir selesai, sedang harmonisasi. Masih dibahas antar K/L," sambung Ridwan.
Adapun, kedua RPP tersebut adalah RPP tentang wilayah pertambangan. Sedangkan RPP yang lainnya mengatur tentang pembinaan dan pengawasan serta reklamasi dan pascatambang dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
Menurut Ridwan, RPP yang telah masuk finalisasi di Setneg bisa selesai pada bulan November ini. Sedangkan kedua RPP lainnya ditarget rampung paling lambat Desember 2020 mendatang.
"Semua harus selesai bulan Desember. Kalau yang satu itu Insha Allah selesai lah (bulan ini)," sebut Ridwan.
Selanjutnya: Dari PKP2B hingga PTBA, ini deretan perusahaan yang sedang jajaki proyek hilirisasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News