kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.430.000   -10.000   -0,69%
  • USD/IDR 15.243   97,00   0,63%
  • IDX 7.905   76,26   0,97%
  • KOMPAS100 1.208   12,11   1,01%
  • LQ45 980   9,43   0,97%
  • ISSI 230   1,69   0,74%
  • IDX30 500   4,71   0,95%
  • IDXHIDIV20 602   4,65   0,78%
  • IDX80 137   1,32   0,97%
  • IDXV30 141   0,53   0,38%
  • IDXQ30 167   1,08   0,65%

Dampak Pungutan Pajak 2,4% Bagi yang Bangun Rumah Sendiri Terhadap Daya Beli


Senin, 16 September 2024 / 16:11 WIB
Dampak Pungutan Pajak 2,4% Bagi yang Bangun Rumah Sendiri Terhadap Daya Beli
ILUSTRASI. Konsumen berbelanja kue kering khas lebaran di pasar Jatinegara, Jakarta, Rabu (3/4/2024). Pemerintah diminta perlu berhati-hati dalam melakukan penyesuaian tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah diminta perlu berhati-hati dalam melakukan penyesuaian tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025.

Pasalnya, akan ada banyak sektor yang ikut terdampak dari kebijakan tersebut, salah satunya sektor properti.

Sejalan dengan kenaikan tarif PPN umum 12%, maka tarif PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) juga bakal naik menjadi 2,4% mulai tahun 2025. 

Baca Juga: Bangun Rumah Sendiri Kena PPN, Stafsus Sri Mulyani: Untuk Keadilan

Hal ini dikarenakan tarif PPN untuk KMS dihitung berdasarkan besaran tertentu yang merupakan hasil dari perkalian 20% dengan tarif PPN umum sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN.

Nah, tarif PPN KMS yang berlaku saat ini adalah sebesar 2,2% yang merupakan hasil dari 20% dikali tarif PPN umum sebesar 11%.

Dengan begitu, ketika tarif PPN umum benar-benar akan naik menjadi 12% mulai 2025, maka tarif PPN KMS juga akan ikut meningkat menjadi 2,4%.

Namun pengenaan PPN KMS ini tidak ditujukan untuk semua bangunan. Adapun kriterianya adalah luas bangunan minimal 200 meter persegi. Artinya, jika bangunan tidak mencapai luas tersebut, maka tidak akan dikenakan PPN atas KMS sebesar 2,4%.

Baca Juga: Setoran Pajak Industri Pengolahan Merosot, Efek Daya Beli Masyarakat Melemah

Perlu diingat, PPN KMS sendiri bukanlah merupakan pajak baru. Pajak ini sudah dikenakan sejak tahun 1994. Kemudian, pemerintah melakukan penyesuaian tarif PPN KMS berdasarkan UU HPP.

Menanggapi hal tersebut, Ekonom Universitas Paramida Wijayanto Samirin menilai bahwa kebijakan tersebut, termasuk tarif PPN 12% akan berpotensi mempengaruhi harga rumah dan daya beli masyarakat. 

Hal ini dikarenakan sektor perumahan merupakan sektor yang memiliki multiplier effek tinggi, seperti mempekerjakan banyak tenaga kerja dan juga menyerap produk dengan local content tinggi. Oleh karena itu, dirinya meminta pemerintah untuk berhati-hati dalam melakukan penyesuaian tarif.

"Menaikkan pajak di sektor ini hendaklah berhati-hati, apalagi saat ini ekonomi kita sedang mulai menunjukkan tanda-tanda krisis, ditandai dengan empat bulan deflasi berturut-turut," ujar Wija kepada Kontan.co.id, Senin (16/9).

Baca Juga: Inflasi AS Sedikit Naik di Bulan April, Daya Beli Konsumen Melemah

Dirinya tidak ingin, sektor perumahan atau properti yang memiliki kontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi terganggu akibat kebijakan dari pemerintah tersebut.

"Jangan sampai sektor yang menjadi andalan pertumbuhan ekonomi ini ikut terganggu," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat mengatakan kenaikan tarif PPN KMS tidak akan terlalu berdampak terhadap masyarakat. 

Mengingat, yang terkena dampak kenaikan tersebut adalah masyarakat kelas menengah ke atas yang akan membangun di atas luas lahan 200 meter persegi.

"Artinya, secara ekonomi, golongan tersebut cukup mampu. Apalagi KMS ini adalah kegiatan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain," kata Ariawan.

Baca Juga: Begini Strategi Blibli Genjot Daya Beli Konsumen Terhadap Properti Melalui E-Commerce

Kendati begitu, Ariawan tetap menyerukan agar pemerintah menunda kenaikan tarif PPN 12% pada tahun depan. Bukan karena implikasinya terhadap KMS, namun lebih dari dampak ekonomi yang akan terjadi.

"Kenaikan tarif PPN akan membuat upah nominal semakin turun. Di sisi lain, pendapatan riil juga turun, lalu terhambatnya kinerja ekspor serta impor," katanya.

Sementara data yang ada saat ini, dengan tarif PPN yang belum naik saja, pengusaha sudah kelimpungan. Belum lagi, pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi dimana-mana, pengangguran yang meningkat serta kemampuan daya beli masyarakat kian menurun.

Baca Juga: WIKA Bangun Rumah Sakit dan Jembatan Kaca, Total Nilai Kontraknya Rp 1,04 Triliun

Ariawan menyebut, selama paruh pertama 2024 saja, sudah ada 32.064 pekerja yang mengalami PHK atau melonjak 21,45% dari periode yang sama tahun lalu.

"Gejala-gejala ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan kenaikan PPN," pungkasnya.

Selanjutnya: Infrastruktur Kesehatan Indonesia dari Kacamata Pengelola Rumah Sakit Swasta

Menarik Dibaca: 6 Posisi Tidur Terbaik hingga Terburuk untuk Ibu Hamil yang Direkomendasikan Ahli

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management Principles (SCMP) Mastering Management and Strategic Leadership (MiniMBA 2024)

[X]
×