Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Pemerintah berencana menetapkan tarif batas bawah dan atas untuk harga bahan bakar minyak (BBM) premium. Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menyetujui rencana pemerintah tersebut.
Menurut Enny, fluktuasi harga bahan bakar minyak (BBM) premium akan berdampak krusial bagi stabilitas harga. Dengan harga minyak dunia yang terus turun dan pemerintah yang akan mengevaluasi harga BBM premium dua minggu sekali, apabila harga jual terus diturunkan akan menyulitkan masyarakat dan kalangan dunia usaha.
Pemerintah sebaiknya mempunyai harga patokan untuk penjualan BBM premium. Patokan harga yang diungkapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said sebesar Rp 6.500 per liter adalah level yang sesuai. "Kalau pemerintah buat patokan, dunia usaha dapat mengatur perencanaannya," ujar Enny ketika dihubungi KONTAN, Minggu (18/1).
Dampaknya kepada masyarakat pun akan lebih baik. Harga barang dan jasa akan relatif terkendali dalam rentang yang telah ditetapkan pemerintah.
Pasalnya, meskipun harga BBM premium telah diturunkan harga barang dan jasa tetap saja tinggi. Efek penurunan harga premium yang telah dilakukan pemerintah dari sebelumnya Rp 8.500 ke level Rp 7.600 hingga saat ini tetap saja harga barang ataupun tarif angkutan tidak turun.
Di sisi lain, dengan adanya pengenaan batas tarif dapat membuat pemerintah mempunyai ruang fiskal yang lebih untuk hal-hal produktif. "Hanya saja dalam hal ini pemerintah harus transparan dalam penghitungannya. Beri tahu kepada masyarakat alokasi dananya untuk apa saja," tandas Enny.
Tidak hanya soal dana lebih, pemerintah dengan pengenaan batas tarif dapat mengerem konsumsi masyarakat. Harga BBM premium yang terlalu rendah akan menyebabkan konsumsi masyarakat melonjak sehingga impor minyak meledak lagi. Alhasil, keinginan untuk mensurpluskan neraca dagang menjadi sulit terwujud.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News