Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Satu lagi kasus penggelapan pajak yang melibatkan perusahaan kelas wahid. Kali ini melibatkan salah satu perusahaan dalam kelompok Coca-Cola Company, yakni PT Coca-Cola Indonesia (CCI). PT CCI diduga mengakali pajak sehingga menimbulkan kekurangan pembayaran pajak senilai Rp 49,24 miliar.
Sekarang kasus ini sedang dalam tahap banding di Pengadilan Pajak. PT CCI mengajukan banding karena merasa sudah membayar pajak sesuai ketentuan.
Kasus ini terjadi untuk tahun pajak 2002, 2003, 2004, dan 2006. Hasil penelusuran Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan menemukan, ada pembengkakan biaya yang besar pada tahun itu. Beban biaya yang besar menyebabkan penghasilan kena pajak berkurang, sehingga setoran pajaknya pun mengecil.
Beban biaya itu antara lain untuk iklan dari rentang waktu tahun 2002-2006 dengan total sebesar Rp 566,84 miliar. Itu untuk iklan produk minuman jadi merek Coca-Cola.
Akibatnya, ada penurunan penghasilan kena pajak. Menurut DJP, total penghasilan kena pajak CCI pada periode itu adalah Rp 603,48 miliar. Sedangkan perhitungan CCI, penghasilan kena pajak hanyalah Rp 492,59 miliar. Dengan selisih itu, DJP menghitung kekurangan pajak penghasilan (PPh) CCI Rp 49,24 miliar.
Bagi DJP, beban biaya ini sangat mencurigakan dan mengarah pada praktik transfer pricing demi meminimalisir pajak. Transfer pricing merupakan transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi pada suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar, sehingga beban pajak berkurang.
Praktik ini bisa dideteksi jika ada kegiatan yang tak sesuai dengan bisnis perusahaan. Produk PT CCI adalah konsentrat, bukan produk minuman jadi. Namun, mereka harus mengeluarkan biaya yang besar untuk iklan. "Biaya iklan yang dibebankan oleh PT CCI tidak memiliki kaitan langsung dengan produk yang dihasilkan," kata Edward Sianipar, perwakilan DJP di persidangan, Kamis (12/6).
Wajarnya, biaya iklan menjadi tanggungan perusahaan Coca-Cola lainnya. Asal tahu saja, Coca-Cola Indonesia terbagi pada tiga perusahaan, yakni yang fokus menangani konsentrat, pengemasan, dan distribusi.
Sementara itu, dalam persidangan ini, PT CCI diwakili Price Water House Cooper (PWC) dengan kuasanya adalah Ay Tjhin Pan dan Mardianto. Mereka mengajukan banding karena DJP dianggap tak konsisten melakukan pemeriksaan.
Namun, saksi ahli yang hadir di persidangan itu, yakni Zainal Arifin Muchtar, pakal hukum Administrasi Negara, berpendapat, pemeriksaan DJP bisa saja berbeda di setiap periode. Itu tergantung tujuan pemeriksaaan, apakah untuk kewajaran atau kebenaran dan bukti. "Pemeriksaan kewajaran lebih dalam dibandingkan dengan pemeriksaan kebenaran," katanya.
Namun, di persidangan itu, perwakilan PT CCI tidak memberikan bantahan ataupun tanggapan. Selanjutnya, hakim masih akan memeriksa kasus ini sebelum menjatuhkan putusan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News