CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.527.000   14.000   0,93%
  • USD/IDR 15.675   65,00   0,41%
  • IDX 7.287   43,33   0,60%
  • KOMPAS100 1.121   3,73   0,33%
  • LQ45 884   -2,86   -0,32%
  • ISSI 222   1,85   0,84%
  • IDX30 455   -2,30   -0,50%
  • IDXHIDIV20 549   -4,66   -0,84%
  • IDX80 128   0,06   0,05%
  • IDXV30 138   -1,30   -0,94%
  • IDXQ30 152   -0,90   -0,59%

CIPS: RUU Minol berisiko tinggi bagi publik


Rabu, 15 Juni 2016 / 13:53 WIB
CIPS: RUU Minol berisiko tinggi bagi publik


Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih terus membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Minuman Beralkohol. RUU yang kerap dikenal dengan RUU Minol ini memang mendatangkan polemik baru di industri minuman beralkohol.

Tidak hanya itu, RUU Minol juga disinyalir akan berdampak bagi kehidupan sosial. Riset yang dilakukan oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan terdapat korelasi yang kuat antara korban minuman alkohol oplosan dengan daerah yang melarang penjualan minuman beralkohol legal.  

Hasil riset mencatat, setidaknya dari total korban alkohol oplosan sejak tahun 2013, 83% korban datang dari kabupaten/kota di Pulau Jawa yang melarang penjualan dan konsumsi alkohol secara total maupun parsial. Sementara, berdasarkan laporan media, setidaknya terdapat 629 korban di Pulau Jawa yang meninggal akibat meminum alkohol ilegal (oplosan) sejak tahun 2013.

Dari data tersebut, CIPS berkesimpulan, apabila RUU Larangan Minuman Beralkohol disahkan, maka akan menimbulkan risiko tinggi bagi kesehatan dan perlindungan publik.

Itu sebabnya, “Pelarangan minuman beralkohol bukanlah prioritas,” menurut Peneliti CIPS Rofi Uddarojat.

Dia menambahkan, kalaupun harus diatur, RUU ini seharusnya fokus pada upaya pemberantasan alkohol oplosan yang terbukti berbahaya, termasuk meregulasi produsen minuman beralkohol tradisional. "RUU ini perlu memprioritaskan standarisasi kualitas produksi dan pengawasan produsen minuman beralkohol secara ketat sehingga produk mereka aman bagi konsumen,” jelasnya.

Menurut studi ini, pelarangan alkohol tidak bisa menghilangkan permintaan. Konsumen justru akan dipaksa untuk mengonsumsi minuman alkohol di pasar gelap, yang kemungkinan besar mengandung zat berbahaya dan mematikan.

“Alkohol oplosan seringkali diproduksi oleh sindikat kriminal,” jelas Rofi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, masyarakat Indonesia hanya mengonsumsi lima kali alkohol oplosan (0,5 liter per kapita) dibandingkan minuman beralkohol legal (0,1 liter per kapita).

Penelitian ini juga mencatat studi kasus dari negara-negara lain, seperti studi dari University of Nottingham yang menemukan bahwa pelarangan alkohol di India tidak mengurangi konsumsi alkohol ilegal. Pengalaman di Amerika Serikat selama pelarangan alkohol era 1930-an juga membuktikan kenaikan tajam atas munculnya organisasi kriminal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×