kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Cermati Sanksi Tambahan PPh Final, Jika Ingin Ikut Tax Amnesty Jilid II


Selasa, 28 Desember 2021 / 15:48 WIB
Cermati Sanksi Tambahan PPh Final, Jika Ingin Ikut Tax Amnesty Jilid II
ILUSTRASI. Ilustrasi pajak, tax Amnesty Jakarta (04/14). Cermati Sanksi Tambahan PPh Final, Jika Ingin Ikut Tax Amnesty Jilid II.


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

Lalu, untuk gagal investasi dan gagal repatriasi, hanya deklarasi aset di luar negeri bila diungkapkan secara pribadi oleh WP peserta kebijakan I PPS perlu membayar tambahan PPh Final sebesar 6%, dan 7,5% apabila ditentukan berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).

Sementara, bagi WP peserta kebijakan II PPS yang wanprestasi atas kegagalan tersebut diberikan tambahan pembayaran PPh Final 7% jika diungkapkan secara sukarela, dan 8,5% kalau lewat SKPKB. 

Terakhir, pengungkapan sukarela karena gagal repatriasi, hanya deklarasi luar negeri untuk peserta kebijakan I PPS mendapat tambahan PPh Final 4%, atau 5,5% apabila ditetapkan lewat SKPKB. Sedangkan untuk kebijakan II, tarif jenis wanprestasi masing-masng sebesa 5% dan 6,5%.

Baca Juga: Tax amnesty jilid II: Pemerintah tawari dua skema pengampunan pajak

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Reaseacrh Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan akan sulit bagi DJP untuk menguji kepatuhan para WP. Sebab, data perpajakan yang dimiliki pemerintah saat ini belum sinkron. 

Prianto menilai data matching jadi kendala utama otoritas pajak. Meskipun DJP sudah mengantongi data baik yang berasal dari internal, eksternal, dan ILAP, tapi kualitas data masih minim. 

Misalnya, hanya mendapatkan nama atas kepemilikan aset tanpa disertai Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau Nomor Pokok Wajib Pajak (WP). Sehingga, akan sulit bagi DJP mengklarifikasi keabsahan data yang telah dihimpun.

Baca Juga: Soal tarif program pengungkapan sukarela wajib pajak, begini penjelasan Ditjen Pajak

“Namun sanksi memang tetap harus diterapkan. DJP juga harus cepat memperbaiki data dan sistem perpajakannya supaya PPS optimal,” kata Prianto kepada Kontan.co.id, Selasa (28/12). 

Kendati begitu, Prianto menilai pasca PPS barulah pemerintah bisa mendapatkan kualitas data yang jauh lebih banyak bisa dimanfaatkan.

Hal ini salah satunya lantaran, implementasi integrasi NIK dengan NPWP dan bantuan penagihan pajak dari yurisdiksi/negara mitra sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×