Reporter: Dyah Megasari |
JAKARTA. Tahap kedua (2010-2014) dalam strategi besar Polri 2005-2025 menuju Kepolisian Negara RI yang mandiri, profesional, dan dipercaya masyarakat adalah membangun kemitraan (partnership building). Polri ditantang untuk dapat membangun kerja sama dengan berbagai pihak dalam penegakan hukum dan menjaga keamanan.
Saat ini, upaya Polri membangun kemitraan benar- benar diuji. Bagaimana Polri membangun kemitraan dengan lembaga lain dalam pemberantasan korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung?
Terkait kasus-kasus konflik sosial, bagaimana pula jajaran Polri menjalin komunikasi dan membangun relasi dengan jajaran pemerintah daerah dan masyarakat lokal, seperti tokoh masyarakat atau berbagai kelompok rentan, sebagai upaya mendeteksi dan mencegah potensi gangguan keamanan?
Dalam lima bulan terakhir, publik dipertontonkan bagaimana kemitraan atau hubungan antara Polri dan KPK yang terkesan kurang harmonis. Relasi Polri dan KPK dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi ibarat jalan panjang yang berliku-liku dan terjal.
Ada ”sengketa” kewenangan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Ada ”drama” upaya penangkapan terhadap penyidik KPK Komisaris Novel Baswedan yang diduga melakukan tindak penganiayaan. Juga ada ”penarikan” penyidik Polri yang bertugas di KPK.
Energi anak bangsa seperti terkuras untuk menyelesaikan hubungan Polri dan KPK yang disharmonis. Setelah terkatung- katung lebih dari dua bulan, akhirnya, orang nomor satu di negeri ini pun angkat bicara.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya tegas memerintahkan Polri untuk menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus hukum dugaan korupsi simulator mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri kepada KPK (Kompas, 9/10).
Sangat disayangkan, lembaga besar, seperti KPK dan Polri, harus ”perang dingin” dalam menangani suatu kasus dugaan korupsi. Padahal, seharusnya lembaga penegak hukum, seperti KPK, Polri, termasuk Kejaksaan Agung, bergandengan tangan untuk memberantas korupsi. Ketiga lembaga besar penegak hukum itu juga seharusnya memberi contoh pengembangan sistem yang transparan dan akuntabel di lembaga masing-masing.
Menghancurkan
Mengapa institusi penegak hukum, seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung, perlu bersinergi menindak kejahatan atau tindak pidana korupsi? Korupsi ibarat penyakit kanker yang menggerogoti kekebalan tubuh secara pelan-pelan yang dapat bermuara pada kematian. Korupsi jelas menggerogoti suatu bangsa sehingga nasib bangsa dapat menjadi babak belur.
Dalam laporan Transparency International (TI) 2012 disebutkan, dengan melihat indeks persepsi korupsi (corruption perceptions index/CPI) 2012, jelas bahwa korupsi merupakan ancaman terhadap kemanusiaan.
Korupsi menghancurkan kehidupan manusia serta merusak negara dan institusi. Korupsi juga dapat membangkitkan kemarahan masyarakat yang berpotensi mengancam stabilitas dan menambah konflik kekerasan.
Dari 178 negara yang disurvei TI pada 2012, terungkap bahwa dua pertiga dari jumlah negara (178 negara) yang disurvei itu memiliki skor di bawah 50. Skor 0 menunjukkan tingkat korupsi yang tinggi (highly corrupt) dan skor 100 menunjukkan tingkat korupsi yang rendah (very clean).
Fakta bahwa dua pertiga negara yang disurvei itu memiliki skor di bawah 50 menunjukkan korupsi merupakan masalah yang serius. Dalam laporan CPI TI 2012 terlihat juga Indonesia masuk urutan ke-118 dengan skor 32.
Pada 2011, Indonesia masuk urutan ke-100 dengan skor 3,0. Pada survei 2011, skor yang ditentukan adalah 0 (highly corrupt) sampai 10 (very clean). Dengan angka itu, Indonesia sebenarnya dapat dinilai ”mundur” dalam upaya pemberantasan korupsi.
Indonesia berada di bawah negara-negara seperti Timor Leste, Nigeria, dan Guatemala dengan masing-masing skor 113, Filipina dengan skor 105, dan Malaysia dengan skor 54.
Lalu, bagaimana Polri sebagai institusi penegak hukum yang besar di negeri ini dapat berkontribusi lebih besar dalam memberantas korupsi? Selain tetap harus bermitra dengan lembaga penegak hukum lain, Polri tentu perlu menunjukkan aksi-aksi yang konkret dalam pemberantasan korupsi.
Aksi-aksi konkret itu tentu tidak hanya sekadar menggelar kampanye antikorupsi. Secara internal, Polri memang terus mengampanyekan antikorupsi sebagai salah satu upaya membangkitkan kesadaran terhadap bahaya korupsi.
Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Nanan Soekarna mengungkapkan, Polri sudah lama mengampanyekan gerakan antikorupsi. Anggota Polri diwajibkan menggunakan pin yang bertuliskan ”Pelayanan Prima, Anti KKN dan Kekerasan” di dada.
Bahkan, Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo telah mengeluarkan ”maklumat” tentang pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dalam maklumat itu, antara lain disebutkan semua anggota Polri dalam kapasitas sebagai bawahan harus berani secara etis mengingatkan, mencegah, dan menolak perintah atasan yang bernuansa KKN.
Selain itu, semua pimpinan Polri di semua level juga wajib menunjukkan tampilan anti-KKN dan memberikan teladan, bersifat melayani, berperan sebagai konsultan dan penjamin kualitas (quality assurance).
Aksi konkret lain yang perlu ditunjukkan kepada publik, antara lain, kinerja Polri dalam menindak kejahatan korupsi dan menjerat tersangka dari berbagai kalangan, seperti pejabat daerah, pejabat kementerian, atau lembaga negara. Akan tetapi, dalam satu tahun terakhir, yaitu 2012, belum terlihat penanganan kasus dugaan korupsi besar oleh Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri yang patut dibanggakan.
Sebagai contoh, penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan dengan tersangka mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah. Penanganan kasus itu terkesan berjalan di tempat.
Sebelumnya, Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Sutarman pernah mengungkapkan, Fadilah menjadi tersangka perkara korupsi pengadaan alat kesehatan pada 2005 dengan nilai Rp 15 miliar. Potensi kerugian negara sekitar Rp 6,1 miliar (Kompas, 18/4).
Jika Polri berkomitmen memberantas korupsi, prestasi besar seharusnya juga dapat ditunjukkan dengan menyidik kasus-kasus korupsi yang ”besar” dan menjerat para tersangka, seperti yang dilakukan KPK.
Bahkan, Polri dapat menyampaikan perkembangan penanganan kasus tersebut secara konsisten kepada masyarakat melalui peran media massa. Sutarman mengungkapkan, Bareskrim Polri, termasuk polda, sebenarnya banyak mengusut kasus dugaan korupsi. Namun, pengusutan kasus-kasus itu tidak terekspos ke media massa.
Sebagai gambaran, menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Agus Rianto, pada 2012, Polri telah menerima laporan terkait dugaan tindak pidana korupsi sebanyak 1.023 kasus. Dari jumlah itu, sebanyak 542 kasus sudah disidik.
Berkas penyidikan yang sudah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan, menurut Agus Rianto, sebanyak 463 kasus. Penyidikan yang dihentikan karena dinilai tak cukup bukti sebanyak 35 kasus. Sembilan kasus sudah dilimpahkan ke kejaksaan.
Dari kasus dugaan korupsi yang sudah ditangani itu, ungkap Agus, potensi kerugian negara mencapai Rp 1,5 triliun. Barang bukti yang dikembalikan mencapai Rp 211 miliar.
Meski cukup banyak penanganan kasus korupsi oleh Polri, berbagai kalangan tetap meragukan kinerja Polri dalam penanganan kasus korupsi. Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menilai, Polri belum memiliki kemauan yang kuat dalam penindakan kasus korupsi, terutama yang sarat dengan konflik kepentingan.
Karena itu, para penegak hukum di jajaran Polri sebagai lembaga yang besar dan kuat memang perlu memiliki kemauan dan tekad kuat. Tanpa itu, lembaga besar dan kuat pun tidak banyak bermanfaat.
Dalam suatu acara sarasehan budaya, Wakil Jaksa Agung Darmono mengungkapkan, untuk menyelesaikan atau menangani korupsi diperlukan dua hal yang besar, yaitu tenaga yang besar dan kemauan yang besar.
Tenaga itu adalah lembaga penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan, maupun KPK. Namun, tenaga besar saja tidak cukup menangani masalah korupsi. ”Tanpa kemauan, tenaga yang besar tak ada artinya,” tuturnya.
Dengan langkah konkret dalam mengusut kasus-kasus dugaan korupsi, diharapkan Polri semakin mendapat kepercayaan dari masyarakat, seperti yang dicanangkan dalam tahap pertama (2005-2009) grand strategy Polri, yaitu membangun kepercayaan masyarakat (trust building).(Ferry Santoso/Kompas Cetak/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News