Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Para wakil rakyat di DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) pada Selasa (8/7/2014), atau semalam sebelum Pemilu Presiden RI dilaksanakan.
Sejumlah pihak menilai revisi UU MD3 ini menghambat pemberantasan korupsi sehingga muncul gerakan petisi online yang meminta Mahkamah Konstitusi atau MK melakukan peninjauan kembali (judicial review) atas UU tersebut.
Seorang warga Jakarta bernama Melany Tedja membuat petisi online berjudul "Tolak Revisi RUU MD3" di situs Change.org, dan ditujukan kepada bagian Humas dan Sekretariat MK. Hingga pukul 18.00 hari ini, petisi tersebut mendapatkan lebih dari 22.000 dukungan.
Dalam revisi UU MD3 disebutkan, pemanggilan terhadap anggota DPR untuk memberikan keterangan atas dugaan tindak pidana (termasuk korupsi) harus dengan persetujuan presiden.
Hal inilah yang dinilai sejumlah pihak berpotensi menghambat upaya pemberantasan korupsi dan seakan memberi kekebalan hukum terhadap anggota DPR.
UU ini juga mengatur bahwa partai politik peraih suara terbanyak dalam pemilu legislatif tidak memperoleh posisi ketua DPR. Nantinya, ketua DPR akan dipilih oleh anggota DPR lewat rapat paripurna.
Dalam penjelasan petisi di Change.org, Melany Tedja menambahkan, UU MD3 juga menghapus ketentuan yang menekankan pentingnya keterwakilan perempuan, khususnya terkait alat kelengkapan di DPR.
Tiga dari sembilan fraksi di DPR RI sebelumnya menolak disahkannya revisi UU MD3. Ketiga fraksi itu dari PDI-P, Partai Hanura, dan PKB. Mereka memilih walk out saat revisi disahkan.
Bagi yang ingin mendukung petisi online tolak DPR kebal hukum ini dapat mengunjungi situs web, http://www.change.org/id/petisi/tolak-revisiuumd3-mk-ri-humas-mkri-lakukan-judicial-review. (Aditya Panji)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News