Reporter: Dityasa H. Forddanta | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) laporan keuangan yang disematkan Badan Pengawas Keuangan (BPK) kepada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menjadi jaminan bagi masyarakat bahwa pengelolaan berjalan dengan aman dan sesuai amanah.
Kepala BPKH Anggito Abimanyu menegaskan, pihaknya terus berkomitmen menjaga transparansi pengelolaan dana haji. “Jadi ini adalah tahun ketiga kami alhamdulillah memperoleh opini wajar tanpa pengecualian,” ujar dia dalam siaran pers, Senin (5/7).
Sebagai informasi, BPK telah memberikan opin Wajar Tanpa Pengecualian atas Laporan Keuangan BPKH Tahun 2020 berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). WTP ini merupakan yang ketiga kalinya disematkan secara berturut-turut sejak BPKH menyusun Laporan Keuangan Tahun 2018. Ini merupakan bukti akuntabilitas, transparansi dan tanggung jawab kepada masyarakat terkait pengelolaan dana haji.
Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Ni’am Sholeh bilang, dana haji itu termasuk dana publik, sehingga perlu kepercayaan publik di dalam pengelolaannya. “Bagian dari ikhtiar untuk membangun kepercayaan publik itu semaksimal mungkin pengelolaan secara profesional, secara transparan dan juga memastikan ada pertanggung jawaban publiknya,” tutur dia.
Baca Juga: Siapkan Dari Sekarang, Ini Siasat Menabung untuk Umrah
Dalam hal pengelolaan, BPKH pun berangkat dari undang-undang dan memastikan alokasi asetnya sesuai. Deputi Keuangan BPKH, Juni Supriyanto menegaskan, terkait investasi atau penempatan dalam bentuk lain, BPKH mempunyai kemungkinan untuk masuk, mulai dari emas, investasi langsung maupun investasi lainnya.
“Karena BPKH harus meyakinkan itu sesuai dengan prinsip syariah, harus aman, kemudian hati-hati. Kemudian mempunyai tingkat return atau nilai manfaat yang semuanya itu ditunggu oleh jamaah haji. Oleh karena itu, kami sedang membangun infrastruktur untuk dapat melakukan investasi langsung lainnya dengan lebih baik,” ujar Juni.
Yang telah ada dan berjalan dengan perbankan syariah adalah pembiayaan yang menggunakan akad mudharabah muqayyadah, akad yang dilakukan antara pemilik modal (bank) untuk usaha yang ditentukan oleh pemilik modal (bank) dengan pengelola (Nasabah), di mana nisbah bagi hasil disepakati di awal untuk dibagi bersama.
Ketentuan undang-undang, alokasi aset yang dapat dilakukan BPKH maksimal 30% di perbankan syariah, 35% di surat berharga atau sukuk, 5% di emas, 20% investasi langsung, dan 10% di investasi lainnya. “Jadi saat ini semua aman investasinya sebatas memang surat berharga, surat-suratnya yang saat ini ada hampir 90%. Kemudian ada di investasi lainnya seperti reksa dana dan penempatan di luar negeri,” terang Juni.
Baca Juga: Hari Jumat ini, Arab Saudi akan mengumumkan jemaah haji yang disetujui
Berdasarkan himpunan Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV Tahun 2012 Dana setoran BPIH bagi calon haji yang termasuk daftar tunggu dalam rekening Menteri Agama, boleh di-tasharruf-kan untuk hal-hal produktif (memberikan keuntungan), antara lain penempatan di perbankan syariah atau diinvestasikan dalam bentuk sukuk.
“Mengenai kebolehan atau tasharruf. Boleh untuk diinvestasikan. Jika dipahami oleh publik secara utuh, hiruk-pikuk terkait pertanyaan mengapa kok diinvestasikan? Itu sebenarnya enggak perlu lagi. Itu sudah tuntas (melalui keputusan Ijtima Ulama),” jelas Asrorun.
Sedangkan mewakili industri keuangan, di mana penempatan dana haji di perbankan syariah ditunjuk langsung oleh BPKH, Direktur Utama PT Bank Muamalat Indonesia Tbk, Achmad K. Permana berpendapat, bahwa BPKH bisa memanfaatkan jaringan dan semua layanan perbankan syariah.
“Kami ingin memaksimalkan infrastruktur yang ada di bank syariah, dan itu sesuai dengan koridor di Undang-undang Nomor 34 bahwa itu dimungkinkan ya bekerja sama lebih jauh antara perbankan syariah dengan BPKH, tadi ada investasi lainnya, dsb. Itu menurut saya juga bisa kita lakukan,” katanya.
Baca Juga: Kepala BPKH: Tak Ada Alokasi Dana Haji buat Infrastruktur
BPKH dalam hal pengelolaan dana haji diyakini telah melakukan yang terbaik, ini dilihat dari dana kelolaan dan nilai manfaat tetap tumbuh. “Kemudian aman, dan kemudian juga likuid. Nah, tidak ada credit risk atau zero NPF (non-performing financing), dan kemudian kita selalu menjaga transparansi dan akuntabilitas. Semoga ini menjadi ikhtiar BPKH dalam menjaga dana haji yang merupakan amanah dari seluruh calon jamaah haji,” sambung Juni lagi.
Adapun posisi dana haji yang dikelola BPKH sampai dengan bulan Desember 2020 meningkat 16,56% atau menjadi Rp 144,91 triliun, terdiri dari Rp 141,32 triliun alokasi dana penyelenggaraan Ibadah haji dan Rp 3,58 triliun Dana Abadi Umat.
Dana haji aman dikelola oleh BPKH dapat dilihat dari Rasio Solvabilitas dan Rasio Likuiditas wajib. Rasio solvabilitas BPKH dari tahun 2018 sampai 2020 terus bertumbuh, dari 104% menjadi 108%. Sedangkan rasio likuiditas wajib adalah kemampuan BPKH menyediakan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dalam tahun berjalan. Berdasarkan amanah UU No.34 tahun 2014, BPKH wajib menjaga minimal 2 kali BPIH.
Dalam realisasinya, tahun 2020 rasio likuiditas wajib terjaga di angka 3,82 kali BPIH, yang berarti BPKH telah mempersiapkan dana untuk penyelenggaraan Ibadah Haji mendekati 4 kali pelaksanaan haji.
Baca Juga: Arab Saudi tertarik berinvestasi pada Bank Syariah Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News