Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto
Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, narasi penguatan yang selama ini disebutkan oleh DPR ataupun pemerintah hanya sekadar halusinasi belaka.
ICW mencatat terdapat poin-poin krusial yang dikhawatirkan dapat memperlemah KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Antara lain :
1. KPK Tidak Lagi Lembaga Negara Independen
Pasal 1 ayat (3), Pasal 3 UU KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan undang-undang ini.
Penjelasan: Aturan ini bertabrakan dengan empat putusan Mahkamah Konstitusi sekaligus, yakni tahun 2006, 2007, 2010, dan 2011.
Pada putusan tersebut menegaskan bahwa KPK bukan bagian dari eksekutif, melainkan lembaga negara independen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU KPK sebelumnya.
2. Pembentukan Dewan Pengawas
Pasal 21 ayat (1) huruf a, Pasal 37 A UU KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas;
a) Dewan Pengawas yang berjumlah 5 (lima) orang; Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a;
Penjelasan: Konsep lembaga negara independen pada dasarnya tidak mengenal kelembagaan pengawas, namun yang dijadikan fokus adalah membangun sistem pengawasan.
Baca Juga: Pola perusuh pasca demo mahasiswa di DPR mirip 22 Mei
Jadi, secara konsep teori logika DPR dan pemerintah keliru. KPK sendiri selama ini telah diawasi oleh publik, dalam hal keuangan mekanisme audit dari Badan
Pemeriksa Keuangan, kinerja melalui DPR dengan forum Rapat Dengar Pendapat, dan lembaga anti rasuah itu secara berkala melaporkan kinerja kepada Presiden. Khusus langkah penindakan, KPK bertanggung jawab pada institusi kekuasaan kehakiman.
3. Kewenangan Berlebih Dewan Pengawas
Pasal 37 B ayat (1) huruf b: Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan;
Penjelasan: Kewenangan pro justicia seperti itu semestinya tidak diberikan pada organ khusus yang semestinya bekerja pada tataran pengawasan administratif.
Sekalipun Dewan Pengawas tidak dibutuhkan KPK saat ini, namun dengan kewenangan besar seperti itu terlihat pembentuk UU tidak memahami bahwa dalam regulasi KUHAP hanya institusi Pengadilan yang berwenang mengeluarkan izin. Sedangkan Dewan Pengawas sendiri bukan bagian dari penegak hukum.
Baca Juga: Investor Asing Masih Wait and See di Pasar Surat Berharga Negara premium
4. Dewan Pengawas Campur Tangan Eksekutif
Pasal 37 E ayat (1): Ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 A diangkat dan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia;
Penjelasan: Pengangkatan Dewan Pengawas yang dilakukan oleh Presiden dikhawatirkan melunturkan sikap independensi penegakan hukum di KPK.
Sebab, kewenangan yang diperoleh oleh Dewan Pengawas amat besar, hingga pada izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
5. KPK Tidak Bisa Membuka Kantor Perwakilan
Pasal 19 ayat (1): Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia;
Penjelasan: Pasal ini jelas menghilangkan kewenangan KPK untuk membuka kantor perwakilan di daerah provinsi sebagaimana diatur pada Pasal 19 ayat (2) UU KPK sebelumnya. Mengingat maraknya kejahatan korupsi pada tingkat provinsi ataupun level kota harusnya opsi KPK dapat membuka kantor perwakilan tetap dimasukkan.
Baca Juga: Ramai-ramai turun ke jalan, inilah poin-poin yang jadi tuntutan mahasiswa