Reporter: Ratih Waseso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengingatkan kembali program food estate serupa dengan program pada masa Orde Baru yang berujung pada kegagalan.
Pada periode tersebut, program serupa Food Estate sempat diperkirakan dapat menjadi penyangga ketahanan pangan nasional.
Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional WALHI mengatakan, Food Estate justru membuat pangan menjadi rentan. Pasalnya, jika hanya ada satu wilayah memproduksi satu jenis komoditas dengan jumlah yang besar, maka akan mempengaruhi suplai dan harga produk pangan petani di tempat lainnya.
Baca Juga: Nasib Petani di Tengah Krisis Pangan Dunia
Belum lagi dalam pelaksanaannya, food estate sangat bergantung terhadap pengendalian hama dan pupuk. Dimana pupuk yang bersifat kimia yang juga mencemari lingkungan.
Zenzi menjelaskan, negara kepulauan seperti Indonesia seharusnya menerapkan sistem desentralisasi untuk pangan. Yakni dengan memperkuat penyediaan pangan di setiap daerah, bukan dengan strategi lumbung pangan yang terpusat.
Dengan demikian, apabila terdapat satu daerah mengalami kerentanan pangan, maka daerah lainnya bisa mendukung penyediaan pangan dengan menerapkan suplai silang.
“Pemerintah harus berhenti menerapkan ketahanan pangan Indonesia dengan program food estate. Kita seharusnya belajar dengan kesalahan dari Presiden Soeharto dengan pengadaan program pencetakan sawah seluas satu juta hektare. Jika Indonesia ingin berdaulat pangan, maka kenali setiap keunikan pangan rakyat dan keanekaragaman alamnya,” kata Zenzi dalam keterangan tertulis, Rabu (14/12).
Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut mengatakan, narasi-narasi terkait food estate ini terus berkembang. Saat pandemi, program ini dikaitkan dengan ketahanan pangan akibat pandemi Covid-19. Sekarang, narasi didorong lagi dengan alasan prediksi krisis iklim.
"Padahal, program ini harus dikaji ulang karena banyak temuan di lapangan yang menunjukkan kegagalan,” tutur Lola.
Food estate dinilai berpotensi memperbesar terjadinya krisis pangan. Misalnya penanaman singkong pada megaproyek food estate pada tahun 2021 di atas lahan sekitar 300 hektare, di Desa Tewai Baru, Kalimantan Tengah.
Sayangnya, upaya penanaman tidak cocok dengan karakteristik tanah disana yang berpasir. Sehingga kurang memadai untuk mendukung upaya bercocok tanam. Panen singkong milik warga tidak sesuai harapan karena ukurannya kerdil.
Selain itu umbi singkong yang dihasilkan juga berasa pahit. Artinya mengindikasikan adanya kandungan sianida yang tinggi dan berbahaya bagi tubuh manusia.
Baca Juga: Hadapi Ancaman Resesi Global Tahun Depan, Ini yang Disiapkan Pemerintah
“Penanaman singkong butuh melihat kesesuaian dengan ekosistem lokalnya. Di beberapa tempat, singkong dapat tumbuh subur. Tetapi jika tidak bisa tumbuh dengan baik, maka seharusnya tidak dipaksakan untuk tetap ditanam," kata Angga Dwiartama, dosen dan peneliti di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (ITB).
Oleh karena itu, Angga menyampaikan menyelesaikan masalah ketahanan pangan tidak bisa dengan produksi secara menyeluruh untuk kebutuhan global. Pasalnya, setiap ekosistem, dan masyarakat lokal, memiliki kompatibilitas dengan jenis-jenis pangan tertentu juga.
Masalah ketahanan pangan di Indonesia berkaitan dengan akses terhadap pangan, bukan produksinya. Maka produksi secara masif di satu lokasi tidak bisa menjadi solusi.
Angga mengatakan, perlu ada peninjauan kembali bagaimana masyarakat mampu memiliki kedaulatan untuk bisa memproduksi dan mengatur sistem pangannya mereka sendiri. Serta tanpa diintervensi oleh ekonomi pasar yang lebih luas.
“Program food estate justru akan melokalisir produksi pangan di satu tempat, yang kemudian akan membawa masalah pada proses distribusinya ke tempat lain. Jika akses terhadap pangan terbatas, maka harga akan melambung tinggi. Akhirnya, daya beli masyarakat pun menurun. Imbasnya adalah masyarakat terjebak dalam kondisi kerawanan pangan,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News