Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tak mau bergantung dengan dolar Amerika Serikat (AS), membuat sejumlah negara mulai melakukan dedolarisasi. Sebelumnya, dedolarisasi merupakan proses mengganti dolar sebagai mata uang yang digunakan untuk perdagangan hingga perjanjian bilateral.
Hingga saat ini, dolar AS merupakan mata uang utama. Dolar AS biasa digunakan sebagai acuan untuk kebijakan ekonomi, juga digunakan untuk perjanjian antarnegara.
Nah, baru-baru ini ramai dibicarakan organisasi dagang BRICS yang ingin menggunakan mata uang baru dalam transaksi perdagangan.
Aliansi yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan ini mengutarakan niatnya untuk mengurangi transaksi yang menggunakan dolar AS.
Baca Juga: Cadangan devisa emas naik lagi pada Agustus, simak pendorongnya menurut ekonom
Salah satunya, untuk menekan biaya dan memang untuk mengurangi ketergantungan dengan mata uang utama.
Diberitakan Kompas.com sebelumnya, seorang anggota parlemen Rusia Alexander Babakov mengungkapkan pembahasan lebih lanjut paling cepat terjadi di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS pada Agustus 2023.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengaku, dirinya belum mendengar kabar mengenai aliansi yang membuat mata uang baru tersebut.
Namun, Perry menduga keputusan negara-negara tersebut yang utama adalah menggunakan diversifikasi penggunaan mata uang selain dolar.
"Saya sih belum dengar mengenai itu. Namun, memang negara-negara ini bertujuan diversifikasi penggunaan mata uang dengan non dolar AS," terang Perry dalam konferensi pers, awal pekan ini.
Bila memang ini tujuannya, sebenarnya ini bukan hal yang baru. Bahkan, Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah duluan melakukan diversifikasi mata uang.
Baca Juga: Kurangi Ketergantungan Dolar Jadi Faktor Beberapa Negara Pertebal Cadangan Emas
Yaitu, dengan menggunakan local currency settlement (LCS) pada tahun 2018 dan kini berkembang menjadi local currency settlement (LCT).
"LCT ini kami kembangkan untuk penyelesaian transaksi perdagangan, investasi, dan bahkan untuk sistem pembayaran. Indonesia sudah duluan menggagas," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, mengungkapkan rata-rata transaksi penggunaan LCT Indonesia dengan negara mitra makin meningkat tiap tahunnya.
Dalam dua bulan pertama tahun 2023, total nilai transaksi LCT sebesar ekuivalen US$ 957 juta.
Atau dengan kata lain, rata-rata penggunaan LCT per bulan pada dua bulan pertama tahun ini, adalah sekitar US$ 450 juta.
Selain dari jumlah transaksi, Destry juga mengungkapkan jumlah pelaku LCT hingga tahun 2023 telah mencapai 2.014 pelaku.
Ini meningkat dibandingkan dengan jumlah pelaku LCT hingga tahun 2022 yang baru sekitar 1.740 pelaku.
Baca Juga: Cadangan devisa emas naik lagi, ini kata ekonom Indef
Penggunaan mata uang lokal dalam aktivitas investasi, perdagangan, maupun transaksi keuangan ini mampu meningkatkan diversifikasi penggunaan mata uang.
Dengan demikian, Rupiah tak akan terlalu bergantung dengan mata uang utama, seperti dolar Amerika Serikat (AS). Ini akan bermuara pada lebih kuatnya otot Rupiah, terutama di tengah tekanan global yang tak menentu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News