Reporter: Herlina KD | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Tingkat kepatuhan pembayaran pajak oleh Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah rupanya masih rendah. Buktinya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan potensi kerugian negara miliaran rupiah akibat ketidakpatuhan ini.
Auditor Utama Keuangan Negara II BPK Sjafri Adnan Baharuddin mengatakan BPK telah memeriksa kewajiban perpajakan atas pengelolaan anggaran negara di instansi pemerintah. Dalam hal ini, BPK melakukan pemeriksaan dengan sampel 11 Kementerian/Lembaga, 9 provinsi dan 10 pemerintah kabupaten/kota. Setelah melakukan pemeriksaan terperinci atas 30 entitas bendaharawan negara tersebut, BPK menemukan beberapa permasalahan dalam pemungutan pajak.
Beberapa temuan ini antara lain, pertama, adanya sejumlah kekeliruan pengenaan pajak yang mengakibatkan lebih potong sebesar Rp 54,81 miliar dan kurang potong Rp 368,70 miliar. Bentuk kekeliruan ini antara lain salah jenis pajak, pengenaan tarif pajak, dasar pengenaan pajak, dan ada objek pajak yang tidak atau tidak sepenuhnya dipungut.
Selain itu, temuan kedua adalah dari sisi penyetoran pajak, ada hasil pungutan pajak yang diindikasikan sebagai pajak fiktif, dan ada juga pajak yang terlambat disetorkan oleh bank perantara (bank persepsi). Nilai potensi kerugian negara dari ketidakpatuhan tersebut mencapai Rp 859,64 miliar dengan nilai potensi sanksi yang dikenakan Rp 13,69 miliar.
Masalah lainnya yang ditemukan, kata Sjafry adalah sebagian besar entitas yang diperiksa tidak menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) pajak atau terlambat menyerahkannya. Potensi sanksi dari masalah ini mencapai Rp 3,1 miliar. "Selain permasalahan tersebut, terdapat perbuatan melawan hukum, yakni terdapat indikasi setoran pajak fiktif sebesar Rp 674,63 juta. Ada bendahara yang memiliki SSP (surat setoran pajak) tapi sesuai dengan hasil uji silang terhadap modul penerimaan negara (MPN) dan konfirmasi ke KPPN dan bank persepsi menunjukkan bahwa SSP tersebut tidak tercatat," jelasnya saat ditemui di kantor Kemenkeu Selasa (22/11).
Anggota II BPK Taufiequrachman Ruki menambahkan, fokus pemeriksaan tematik BPK tahun ini adalah menyoroti kewajiban perpajakan dari wajib pajak. Untuk periode audit dua bulan terakhir, BPK fokus pada laporan kewajiban perpajakan atas 30 entitas bendaharawan negara tahun 2010. "Hasilnya, kepatuhan mereka kurang bagus karena dari sampling yang ada sekarang saja kami menemukan 11% dari seluruh populasi ada potensi kurang bayar Rp 368 miliar. Jadi saya minta dari Kemenkeu dan Ditjen Pajak untuk mengefektifkan dan mengintensifkan penerimaan pajak," katanya.
Menurutnya, berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan ditemukan indikasi adanya ketidakpatuhan murni dari objek pemeriksaan, ada juga bendaharawan yang tidak paham terhadap aturan pajak. "Modusnya beragam, misalnya (pajak harus) disetor hari ini, ditunda 2-3 hari (kemudian). Lalu yang seharusnya dipotong malah tidak dipotong," katanya.
Sebenarnya, Ruki bilang potensi kerugian ini tidak hilang, hanya saja belum terbayar karena ada yang terlambat setor.
Berdasarkan kelompok pengenaan pajak, entitas yang paling besar potensi kurang bayar pajaknya adalah Kementerian Pertahanan Rp 314,3 miliar dan Kementerian Keuangan Rp 11,91 miliar. Kemudian diikuti oleh Pemerintah Provinsi Jawa timur minus Rp7,49 miliar dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Rp7,09 miliar.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, atas hasil temuan ini, Kemenkeu akan menindaklanjutinya dengan meningkatkan koordinasi baik dengan bendahara K/L, tapi juga dengan bendaharawan daerah. “Bendahara K/L dan daerah diminta untuk lebih sadar akan fungsinya, yang tidak hanya menerima pembayaran dan membayar, tetapi juga mengambil hak negara dalam bentuk pajak. Jadi tentu instansi itu masing-masing harus semakin siap karena ternyata dari hasil audit ini begitu banyak yang belum dijalankan fungsinya,” ungkapnya.
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany bilang Dirjen Pajak akan melakukan sosialisasi aturan perpajakan ke seluruh entitas pengelola anggaran negara. Pasalnya, potensi penerimaan perpajakan yang belum masuk ke kas negara masih cukup besar karena anggaran belanja negara yang dikelola oleh K/L dan yang ditransfer ke daerah juga cukup besar. Ia mencontohkan, beberapa pos anggaran itu antara lain belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal. "Di belanja pegawai ada PPh pasal 21, belanja barang ada PPN, PPN impor, ada PPh pasal 22. Belanja modal juga begitu, kalau impor barang ada PPN impor. Jadi cukup banyaklah (entitas) yang belum setor pajak. Tadi BPK yang bilang dari sampel 10% entitas. Jadi polanya samalah, secara keseluruhan itu masalah yang dihadapi,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News