Reporter: Abdul Basith | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana menggerek tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) disambut positif. Kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan ini diharapkan dapat menutup defisit keuangan yang dialami BPJS karena pengeluaran yang lebih besar daripada pendapatan.
"Rencana tersebut baik karena defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) semakin membesar," ujar Kepala Bidang Advokasi lembaga swadaya masyarakat BPJS Watch Timboel Siregar saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (22/4).
Timboel mengatakan, kenaikan iuran tersebut sesuai dengan aturan yang ada. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 82 tahun 2018, iuran ditinjau maksimal 2 tahun. Oleh karena itu, tahun ini merupakan waktu yang tepat untuk melakukan peninjauan iuran. Terutama bagi peserta PBI yang dibayarkan oleh pemerintah.
"Usulan aktuarianya iuran PBI dinaikkan menjadi Rp 36.000 per orang," terang Timboel.
Sebelumnya, iuran PBI hanya sebesar Rp 23.000 per orang. Namun, bila pemerintah tidak memiliki kemampuan anggaran, Timboel menyarankan untuk menaikkan iuran PBI sebesar Rp 30.000 per orang.
Kenaikan tersebut akan memberikan pemasukan tambahan untuk BPJS Kesehatan sebesar Rp 11,4 triliun. Angka tersebut diasumsikan dengan kenaikan terhitung sejak Januari 2019.
Beberapa upaya juga perlu digenjot untuk menaikkan pemasukan BPJS Kesehatan seperti menaikkan kepesertaan dan penarikkan tunggakan. Selain itu, ada pula memaksimalkan pemanfaatan pajak rokok.
Dari sisi pembiayaan, BPJS Kesehatan harus mengendalikan Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs). "Kendalikan INA CBGs yaitu khususnya fraud," jelas Timboel. Rujukan juga harus diturunkan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) ke rumah sakit. Hal itu dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas FKTP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News