Reporter: Herlina KD | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Tekanan pada nilai tukar rupiah sepertinya masih akan berlanjut. Bahkan, menurut data kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada Selasa (24/6) rupiah bertengger di level Rp 12.000 per dollar Amerika Serikat (AS). Sejak awal bulan ini, mata uang Garuda sudah melemah sekitar 2,21%. Meski begitu, pelemahan rupiah ini diperkirakan hanya akan terjadi sementara saja.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan pelemahan rupiah saat ini dipicu oleh kondisi eksternal yakni kondisi geopolitik di Irak. sementara itu, di dalam negeri tekanan dari defisit neraca transaksi berjalan dan menunggu hasil dari pemilihan presiden yang akan dilaksanakan 9 Juli 2014. "Setelah Pilpres ini kami harapkan situasi akan menjadi lebih baik dan perdagangan juga kami harapkan bisa lebih baik di Mei 2014,"katanya Selasa (24/6).
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menambahkan, kondisi pasar keuangan di dalam negeri yang tidak terlalu dalam membuat rupiah akan sangat sensitif terhadap adanya berbagai sentimen negatif baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Di sisi lain, kata Mirza sebenarnya BI nyaman dengan situasi rupiah di kisaran Rp 11.400 per dollar AS - Rp 11.800 per dollar AS. Tapi, masih adanya ancaman defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan membuat rupiah sebaiknya dijaga agar lebih kompetitif bagi ekspor sehingga bisa mengurangi impor. "Jadi rupiah yang sedikit under value itu yang lebih baik dalam situasi saat ini," jelasnya.
Agus bilang, tekanan rupiah yang terjadi saat ini juga tak terlepas dari besarnya permintaan valuta asing (valas) dari pasar khususnya untuk pembelian korporasi dan ritel dan pembayaran utang luar negeri. Adanya kesepakatan mengenai lindung nilai valas untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah disepakati sebagai kegiatan yang tidak merugikan negara juga diharapkan bisa berdampak positif bagi stabilitas nilai tukar rupiah.
Meski begitu, Mirza bilang BI selalu ada di pasar untuk menjaga agar fluktuasi rupiah tidak terlalu tinggi. "BI ada di pasar untuk menjaga supaya volatilitas tidak terlalu tinggi," katanya.
Kepala Ekonom BII Juniman menambahkan faktor pemicu utama melemahnya rupiah adalah lantaran kondisi geopolitik di Irak yang membuat harga minyak menguat. Sehingga, selama kondisi geopolitik di Irak belum reda dan harga minyak masih cenderung naik maka ia memprediksi rupiah masih akan tertekan.
Menurut Juniman, dalam sepekan ke depan rupiah akan bergerak di kisaran Rp 11.750 per dollar AS - Rp 12.100 per dollar AS. Tapi, "Setelah kondisi geopolitik di Irak mereda dan hasil pemilihan presiden di Indonesia positif, maka rupiah akan kembali menguat seiring meningkatnya arus modal masuk," ungkapnya.
Hingga akhir tahun, Juniman memperkirakan rupiah akan ada di level Rp 11.800 per dollar AS. Bahkan, kalau pilpres berlangsung aman dan hasilnya sesuai dengan ekspektasi pasar, Juniman melihat rupiah akan berpotensi menguat ke kisaran Rp 11.300 per dollar AS.
Lantaran pelemahan hanya bersifat sementara saja, pemerintah juga tak terlalu khawatir dampak pelemahan rupiah ke anggaran. Maklum, meski di sisi pengeluaran meningkat bila rupiah tergerus, tapi di sisi penerimaan terutama penerimaan sumber daya alam (SDA) migas juga ikut naik.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Chatib Basri menilai pelemahan nilai tukar yang terjadi saat ini hanya bersifat temporer atau sementara saja. Alhasil, ia masih optimistis hingga akhir tahun rupiah masih bisa kembali. Catatan saja, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2014 pemerintah mematok asumsi rupiah di level Rp 11.600 per dollar AS.
Agus bilang, sejak awal tahun hingga awal pekan ini (23/6) rata-rata nilai tukar rupiah ada di kisaran Rp 11,720 per dollar AS. Menurutnya, rata-rata nilai tukar ini masih masuk dalam kisaran pergerakan rupiah yang diperkirakan BI untuk tahun ini yakni sekitar Rp 11.600 per dollar AS - Rp 11.800 per dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News