Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI) telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) II sebagai basis pembiayaan pandemi Covid-19.
Ekspansi moneter yang dilakukan oleh BI ini awalnya mendulang kekhawatiran dari berbagai pihak, termasuk lembaga internasional. Menurut pendapat mereka, langkah monetisasi utang BI sudah berlebihan dan bisa mengikis kepercayaan investor.
Baca Juga: Duh, Burden Sharing Bank Indonesia BI) Bisa Ungkit Inflasi hingga 8,15%
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti juga mengaku kalau memang risiko tersebut muncul. Tak hanya itu, risiko lain ada seperti membengkaknya inflasi, beban ke kondisi keuangan bank sentral, dan melemahnya nilai tukar rupiah.
Akan tetapi, Destry memastikan kalau BI telah siap sedia dalam menanggulangi risiko tersebut dengan langkah-langkah mitigasi.
"Memang ada risiko tak hanya di tahun 2020, tetapi juga kita melihat ke depan. Tapi kita sudah memiliki peran dan memiliki instrumen. So far, kami sudah antisipasi itu dan kami bisa mitigasi," kata Destry, Senin (20/7) via video conference.
Baca Juga: Burden sharing bisa ungkit inflasi hingga 8,15%
Destry pun menjabarkannya. Pertama, terkait meroketnya inflasi. Bank sentral melihat kalau memang inflasi yang sulit dikendalikan adalah yang berasal dari inflasi volatile prices yang berasal dari harga makanan.
Untuk menghadapi masalah yang muncul dari volatile prices ini, BI akan memperkuat sinergi dengan pemerintah juga Tim Pengendalian Inflasi baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Dengan sinergi tersebut, diyakini mampu mengendalikan persediaan makanan.
Kedua, Destry juga mengaku kalau burden sharing akan meningkatkan biaya operasi moneter BI. Namun, Destry memastikan kalau BI telah mengukur dan menimbang berapa kemampuan BI untuk terjun ke pasar.
"Kami juga menimbang dengan masak bagaimana dampaknya terhadap internal, rasio modal, dan sebagainya. Kami juga pernah mengalami kok rasio modal menipis pada krisis tahun 1997 dan 1998 lalu. Kami yakin kami bisa lakukan burden sharing," tegasnya.
Baca Juga: Ekonom: Burden sharing mampu jaga level layak investasi surat utang pemerintah
Ketiga, terkait pergerakan nilai tukar rupiah. Destry melihat kalau sebenarnya pergerakan nilai tukar rupiah memang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor fundamental dan faktor eksternal.
Namun, BI akan tetap berusaha memperdalam pasar keuangan, melakukan perbaikan di infrastruktur keuangan, juga memperbaiki infrastruktur pasar keuangan. Selain itu, BI juga memiliki instrumen tambahan seperti DNDF sebagai hedging instrumen sehingga secara keseluruhan, masalah terhadap volatilitas nilai tukar akan teratasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News