Reporter: Bidara Pink | Editor: Markus Sumartomjon
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembagian beban antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) alias burden sharing dalam mendanai krisis akibat pandemi virus korona atau Covid-19 berpotensi mengerek inflasi. Pasalnya, kebijakan ini akan menyebabkan bertambahnya uang yang beredar di masyarakat.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan ekspansi moneter yang dilakukan bank sentral memiliki risiko terhadap inflasi. Kebijakan ini memiliki tenggat waktu atau lag yang lama dan bervariasi.
Menurut Perry besaran lonjakan inflasi bergantung pada peningkatan aktivitas ekonomi. "Kami akan melihat tahun depan, permintaan akan meningkat atau tidak, sudah pulih ke sebelum Covid-19 atau belum. Tapi, tidak tahun ini karena ekonomi kita lemah akibat Covid-19. Teknisnya, ada structural breakdown dalam ekonomi kita," tutur Perry saat rapat dengan pendapat dengan DPR (16/7).
Baca Juga: Ekonom: Burden sharing mampu jaga level layak investasi surat utang pemerintah
Mengutip dokumen rapat kerja Menteri Keuangan dan bank sentral bersama dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, BI mengkaji pembelian Surat Utang Negara (SUN) oleh BI untuk pemulihan ekonomi public goods, Usaha Mikro Kecil Menengah, UMKM dan korporasi tahun 2020 akan meningkatkan inflasi tahun 2021 menjadi ke kisaran 5,26% - 8,15%.
Baca Juga: Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi Juli 2020 sebesar 0,01% mom
Tekanan inflasi diperkirakan akan bergerak melandai di tahun 2022 menjadi di kisaran 3,26% - 4,13%. Meski begitu, Perry mengisyaratkan agar Indonesia tidak khawatir terhadap potensi peningkatan inflasi ini. Pasalnya, BI akan sigap menempuh kebijakan yang memang diperlukan dari sisi moneter untuk mengendalikan inflasi.
Baca Juga: Inflasi 2021 bakal meningkat gara-gara burden sharing? Ini pendapat para ekonom
BI mau menanggung risiko karena sudah memiliki amunisi lengkap untuk mengurangi tekanan inflasi tersebut, yakni dengan kaidah, kerangka kerja, dan kedisiplinan.
Pada skema burden sharing ini, BI akan menanggung beban bunga utang 100% dari beban untuk public goods yang nilainya mencapai Rp 397,60 triliun. Caranya BI membeli SUN secara private placement dengan referensi bunga reverse repo rate.
BI juga menanggung beban utang untuk pembiayaan non public goods sebesar Rp 177,03 triliun. Dana dari penerbitan SUN, dan pemerintah menanggung bunga 1% di bawah reverse repo rate. Sedangkan sisanya, ditanggung oleh BI.
Melihat hal ini, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual sependapat inflasi berpotensi naik tahun depan, dalam kisaran kajian BI. "Asumsinya, tergantung pola pemulihan pasca PSBB dan efektivitas stimulus fiskal. Selain itu, juga perlu melihat perkembangan eksternal, terutama terkait Covid-19," kata David kepada KONTAN Minggu (19/7).
Ekonom Indef Bhima Yudhistira juga sependapat bahwa ada risiko peningkatan inflasi di tahun 2021. Malah, ia memproyeksi laju inflasi tahun depan bisa bergerak di kisaran 6% - 10% sehingga bisa menggerus daya beli masyarakat.
Untuk itu ia menyarankan agar pemerintah menjaga pasokan pangan sebagai langkah antisipasi penurunan tajam produksi pangan global. Langkah lain adalah mengefektifkan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) sebagai sistem peringatan dini inflasi. Dan yang tidak kalah penting adalah segera menurunkan harga BBM dan tarif lsitrik.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede memandang skema burden sharing ini bisa memberikan stimulus bagi perekonomian termasuk juga bagi pasar keuangan domestik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News