Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Chief Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Suhindarto menilai momentum tren pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI Rate) yang masih berlanjut memiliki potensi risiko jangka pendek terhadap arus modal asing ke pasar Indonesia.
Meskipun demikian, arus modal asing masih diperkirakan masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
Menurunnya risiko geopolitik dan kebijakan perdagangan AS membuat investor beralih dari aset aman ke instrumen berisiko. Ditambah dengan prospek pelonggaran moneter di AS, arus modal diperkirakan terus mengalir dan menekan nilai dolar AS.
Baca Juga: Investor Asing Kembali ke Saham BMRI dan BBRI, Tren Berlanjut?
Terbaru, hasil Rapat Dewan Gubernur BI pada Agustus 2025 telah menurunkan BI Rate ke level 5%. Setidaknya sejak awal tahun, BI telah memangkas total 100 basis poin (bps).
Suhindarto mengingatkan adanya potensi risiko jangka pendek setelah BI memangkas suku bunga acuan menjadi 5% pada Agustus 2025.
Menurutnya, pemangkasan suku bunga dapat mendorong yield obligasi turun dan harga naik, yang bisa memicu aksi ambil untung (profit taking) oleh investor asing.
Selain itu, spread (selisih) yield obligasi Indonesia terhadap pasar AS juga menyempit karena pada saat yang sama The Fed belum memangkas suku bunga.
Baca Juga: BI Rate Turun Jadi 5%, Arus Modal Asing ke Pasar Indonesia Masih Prospektif
Pada momen ini, investor asing akan cenderung merealisasikan capital gain untuk mengambil keuntungan dari kenaikan harga tersebut.
Tak hanya pasar obligasi, tren penurunan suku bunga ini juga akan turut mendorong harga saham meningkat seiring dengan prospek kinerja perusahaan yang dinilai dapat tumbuh lebih jauh.
"Terdorongnya harga saham untuk naik juga akan memicu aksi ambil untung dari investor dan membuat pasar rentan terhadap aksi jual, meskipun bersifat temporer. Hal ini yang saya kira perlu diwaspadai selama beberapa waktu ke depan," ungkap Suhindarto kepada Kontan, Kamis (21/8/2025).
Meski demikian, Suhindarto menilai saham dan obligasi korporasi tetap menjadi instrumen menarik di tengah pelonggaran kebijakan moneter.
Menurutnya, penurunan suku bunga akan mendorong kinerja ekonomi dan memperbaiki prospek bisnis, sehingga harga saham berpotensi meningkat.
Baca Juga: Defisit Transaksi Berjalan Berpotensi Melebar, Peluang BI Rate Turun Makin Kecil
Untuk obligasi korporasi, meski penurunan suku bunga akan membuat kupon baru lebih rendah karena benchmark yield menurun, namun Suhindarto menilai instrumen ini masih memberikan imbal hasil lebih tinggi daripada obligasi pemerintah lantaran adanya premi risiko.
“Dengan risiko gagal bayar yang lebih rendah akibat prospek perbaikan kondisi perusahaan, obligasi korporasi masih memiliki daya tariknya di tengah kondisi BI rate yang relatif lebih rendah,” ujarnya.
Seiring dengan itu, Suhindarto juga optimistis terhadap stabilitas nilai tukar rupiah ke depannya.
Ia menilai, meredanya ketidakpastian global, potensi pemangkasan suku bunga The Fed, serta imbal hasil aset Indonesia yang relatif tinggi dibanding negara peers akan mendorong arus modal masuk dan menjaga rupiah stabil.
Baca Juga: BI Rate Turun 25 bps Menjadi 5% pada Agustus 2025, Penurunan Keempat Tahun Ini
Namun, ia tetap mengingatkan agar waspada terhadap eskalasi risiko geopolitik maupun ketidakpastian kebijakan perdagangan luar negeri AS.
“Hal ini bisa sewaktu-waktu membuat investor menjadi risk-averse dan keluar dari negara berkembang, sehingga menekan rupiah,” pungkasnya.
Selanjutnya: Penjelasan Sri Mulyani soal Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan di 2026
Menarik Dibaca: 20 Cara Menghasilkan Uang dari Internet Tanpa Modal, Peluang Tambahan Income
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News