kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BI: Investasi merata jadi pendorong ekonomi 2018


Selasa, 26 Desember 2017 / 14:26 WIB
BI: Investasi merata jadi pendorong ekonomi 2018


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) memproyeksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan akan ada di kisaran 5,1%-5,5%. Angka proyeksi itu lebih baik, meski batas bawahnya sama dengan proyeksi ekonomi Indonesia di tahun ini yang sebesar 5,1%.

Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo mengatakan, ekonomi tahun depan terutama akan didorong oleh investasi yang lebih merata, tidak hanya komoditas, tetapi juga non komoditas. "Juga investasi bangunan, konstruksi karena terkait pembangunan infrastruktur pemerintah. Juga investasi non bangunan," kata Dody belum lama ini.

Dody melanjutkan, harga komoditas tahun depan diperkirakan masih akan ada di level yang tinggi meski pergerakannya lebih lambat dibanding tahun ini. Hal itu akan membuat kinerja ekspor tahun depan tetap kuat.

Tak hanya itu, stimulus fiskal masih akan tetap besar dan pemerintah menjaga defisit anggaran sebesar 2,19% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dalam APBN 2018.

BI melihat, tahun depan pemerintah masih akan mengedepankan reformasi pajak dan fiskal. Juga, menjaga belanja agar tetap berkualitas dan memberikan stimulus melalui belanja, yaitu melalui anggaran belanja bantuan sosial. Reformasi struktural dan pembangunan infrastruktur yang masih akan dilakukan pemerintah juga jadi stimulus bagi perekonomian.

Sejumlah pihak lebih pesimis

Kepala Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Agus Eko Nugroho memperkirakan, ekonomi Indonesia tahun depan hanya akan mencapai 5,22%, jauh dibanding target pemerintah yang dipatok dalam APBN 2018 sebesar 5,4%, walaupun lebih baik dibandingkan diperkirakan tahun ini sebesar 5,1%.

LIPI menyoroti pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang masih tertahan. Agus bilang, kecenderungan perlambatan konsumsi rumah telah terjadi sejak tahun 2011 silam. Kontribusi utamanya, "Pada konsumsi pakaian dan sepatu serta peralatan," kata Agus.

Tak hanya itu, pelemahan konsumsi rumah tangga terjadi lantaran peningkatan upah nominal buruh dan petani tidak berdampak signifikan terhadap upah riilnya. Sejak tahun 2014, upah riil buruh dan petani cenderung stagnan.

Pelemahan konsumsi rumah tangga juga dipengaruhi oleh sumber inflasi yang tak lagi dari bahan pangan. Penyumbang utama inflasi justru dari perumahan, energi, transportasi, dan komunikasi yang menekan masyarakat kelas bawah.

Sementara itu, Ketua Program Studi Manajemen dan Manajer Program Kerja sama HSBC-Putera Sampoerna Foundation (PSF) Fakultas Bisnis Sampoerna University Wahyoe Soedarmono memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan akan mencapai kisaran 5,3%-5,4%. Namun, angka itu bisa dicapai dengan syarat jika inflasi tetap di kisaran 3%-4% dan suku bunga riil di level 10%.

Pihaknya juga mengingatkan bahwa di tahun depan, ekonomi Indonesia masih diliputi ketidakpastian global. Hal itu, berpotensi mendorong peningkatan defisit neraca transaksi berjalan sehingga menyebabkan instabilitas makroekonomi. Apalagi, struktur modal asing yang masuk ke Indonesia masih didominasi investasi jangka pendek.

Lebih pesimistis, Institute for Development of Economic and Finance (Indef) memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2018 di kisaran 5%. Wakil Direktur Eksekutif Indef Eko Listiyanto mengatakan, memasuki tahun politik berupa 171 pilkada serentak yang jatuh pada 27 Juni 2018, memang akan meningkatkan aktivitas ekonomi. Sayangnya, kontribusinya ke PDB hanya sedikit.

Sebagai contoh, Pilkada tahun 2016 membuat konsumsi lembaga non profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) mencatat pertumbuhan tinggi, sebesar 6,62% year on year (YoY). Namun, kontribusinya ke PDB hanya 1,16%.

Di sisi lain, kondisi penerimaan pajak yang secara hostoris selalu mencatatkan selisih dengan targetnya (shortfall). Hal itu bisa membuat dunia usaha bisa wait and see hingga ada kepastian terpilihnya pemimpin baru atau incumbent di daerah.

"Baru setelah itu mereka akan melakukan kalkulasi apakah akan melakukan ekspansi atau business as usual," kata Eko.

Tak hanya itu, Eko memperkirakan optimsime dunia usaha juga akan menurun sejalan dengan beban pajak yang meningkat. Ia memperkirakan, target penerimaan negara dalam APBN-P tahun ini dipatok sebesar Rp 1.736,1 triliun sulit tercapai.

Sebab, realisasi penerimaan pajak sebagai penopang utama penerimaan negara hingga akhir bulan lalu baru mencapai Rp 770 triliun atau 60% dari target. Jika tak tercapai maka akan berimplikasi pada target penerimaan negara tahun depan yang dipatok sebesar Rp 1.894,7 triliun, meski kenaikannya hanya 9,14% dari target APBN-P tahun ini.

Apalagi, di tahun depan sudah tidak ada amnesti pajak. Sementara implementasi Automatic Exchange of Information (AEoI) diperkirakan baru akan terasa dampaknya di tahun 2019 mendatang.

Menurutnya, penerimaan yang realisasinya di bawah target, berarti akan ada ekstra effort dari pemerintah untuk mengejar penerimaan pajak. Akibatnya, optimisme dunia usaha menurun karena beban pajak meningkat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×