Reporter: Benedicta Prima | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) tengah mengkaji upaya memperluas implementasi kerjasama local currency swap (LCS) selain dengan Thailand dan Malaysia sejak 2018 lalu. Baru-baru ini, BI menggagas agar kerjasama LCS ketiga negara tersebut diperluas dengan menggandeng Filipina.
Usai pertemuan dengan Gubernur Bank Sentral dan Menteri Keuangan se-ASEAN, BI mendorong perluasan kerjasama LCS di regional dengan mengajukan Draft ASEAN Guiding Principles on LCS Framework untuk difinalisasi oleh Working Committee on Capital Account Liberalization (WC-CAL) pada akhir 2019.
"Harapannya, apabila ada yang menggunakan local currency saat gonjang ganjing outflow, kawasan ASEAN tidak terlalu terganggu transaksi perdagangan di kawasan. LCS berdampak positif ke perdagangan," jelas Direktur Departemen Internasional BI Wahyu Pratomo, Selasa (9/4).0
BI menargetkan, pada akhir tahun ini draf itu bisa disetujui oleh 10 negara anggota ASEAN, sehingga bisa disahkan saat pertemuan gubernur bank sentral se Asia Tenggara pada April 2020 di Vietnam.
Isi petunjuk alias guidline antara lain motivasi perlunya LCS, tujuan yang digunakan untuk membantu bank sentral menyiapkan LCS dan terakhir mengenai ruang lingkup terkait untuk perdagangan maupun investasi serta regulasi yang diusahakan fleksibel.
Kendati sudah ada aturannya nanti, perjanjian LCS tetap harus didasarkan pada perjanjian kerjasama bilateral. "Walaupun ada guideline berlaku tetapi perjanjian perdagangan dilakukan dua pihak jadi harus dipayungi MoU," jelas Wahyu.
BI cukup optimistis mendorong penggunaan LCS di lingkup ASEAN, terutama untuk mengurangi ketergantungan terhadap Dollar Amerika Serikat (AS). Kendati demikian, BI juga menyadari penggunaan LCS masih relatif kecil.
BI mencatat total transaksi perdagangan bilateral dalam mata uang lokal alias local currency swap (LCS) dengan Thailand dan Malaysia pada kuartal I-2019 mencapai US$ 83 juta atau setara Rp 1,19 triliun. Angka tersebut hanya 0,02% dari total transaksi perdagangan dengan Malaysia dan Thailand.
Kendalanya, karena masih banyak pengusaha yang belum mengetahui adanya fasilitas LCS, juga ada faktor natural hedging alias pengusaha terbiasa menggunakan Dollar AS. Selain itu, BI memahami ada transaksi yang memang tidak bisa diselesaikan menggunakan mata uang lokal.
Untuk itu, BI akan terus mendorong kesadaran pengusaha untuk menggunakan pilihan ini, serta menyiapkan infrastruktur di negara kawasan ASEAN yang akan menyediakan LCS sebagai instrumen alternatif pembayaran perdagangan.
Berdasarkan pengamatan ekonom Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah, BI telah mengambil langkah tepat dalam menginisiasi kerjasama LCS di Asia Tenggara.
"Berawal dari tiga negara utama Indonesia, Malaysia dan Thailand kemudian bertambah dengan Filipina. Selanjutnya satu persatu negara-negara ASEAN lainnya bisa diajak ikut serta," jelas Piter.
Dia menyebutkan Singapura dan Vietnam menjadi negara yang potensial untuk kerjasama berikutnya. Piter juga cukup optimistis negara-negara di ASEAN bisa menuju penyatuan mata uang seperti Euro di kawasan Uni Eropa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News