Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih akan melakukan pemangkasan suku bunga atau BI-Rate satu kali lagi sebanyak 25 basis poin (bps) menjadi 4,50% pada sisa akhir 2025.
Sebagaimana diketahui, sepanjang 2025 BI telah memangkas suku bunga acuannya sebanyak lima kali. Suku bunga dipangkas masing-masing 25 bps pada Januari, Mei, dan Juli, Agustus, dan September, dari level 6,00% pada Desember 2024 menjadi 4,75% saat ini.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, BI masih memiliki ruang untuk menerapkan penurunan suku bunga tambahan pada sisa akhir 2025.
Meski demikian ia menilai, menjaga stabilitas sangatlah penting karena potensi ekspansi defisit ganda, yang mana defisit transaksi berjalan dapat meningkat di tengah ketidakpastian perdagangan, dan defisit fiskal dapat meningkat sebagai akibat dari inisiatif fiskal pro-pertumbuhan.
Baca Juga: Kemendag Pastikan Harga Beras Stabil dan Pasokan Terjaga
“Secara keseluruhan, kami mempertahankan proyeksi suku bunga BI di 4,50% pada akhir tahun 2025, dengan penurunan lebih lanjut menjadi 4,00% pada akhir tahun 2026,” tutur Josua dalam keterangannya, Rabu (22/10/2025).
Sejalan dengan itu, Josua juga mengingatkan agar penyesuaian pemangkasan suku bunga lebih lanjut harus dilakukan secara hati-hati mengingat ketidakpastian yang ada seputar kondisi stabilitas Indonesia.
Ia mencatat, pasar sepenuhnya memperkirakan The Fed akan memangkas Federal Funds Rate (FFR) sebesar 75 bps. Setelah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 25 September, pasar mempertahankan ekspektasi penurunan suku bunga The Fed pada tahun 2025 dari 50 bps menjadi 75 bps, yang mencerminkan pelemahan yang berkelanjutan di pasar tenaga kerja AS dan ketidakpastian akibat penutupan pemerintah (government shutdown).
Menurutnya, dinamika eksternal ini memberikan ruang yang cukup bagi BI untuk terus melonggarkan siklus, didukung oleh potensi aliran modal masuk yang memperkuat stabilitas Rupiah. Selain itu, risiko inflasi akibat perang dagang global dan ketegangan geopolitik telah mereda.
Selain itu, Josua juga melihat risiko utama saat ini berasal dari faktor domestik, karena kebijakan fiskal dan moneter telah berubah menjadi ekspansif dan memperlebar defisit transaksi berjalan.
Kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif juga dinilai akan menyebabkan peningkatan jumlah uang beredar, sehingga menimbulkan risiko inflasi yang lebih tinggi dan depresiasi Rupiah.
“Dari sisi inflasi, dampak inflasi dari peningkatan jumlah uang beredar diproyeksikan sebesar 0,3–0,5 ppt,” ungkapnya.
Baca Juga: Dunia Usaha Diminta Perkuat Dampak Ekonomi ke Daerah
Selanjutnya: Solana Terancam Koreksi Tajam, Analis Prediksi Harga Bisa Anjlok ke US$105
Menarik Dibaca: Cek Tarif Iuran BPJS Kesehatan Terbaru dan Skema Pembayaran Agar Tetap Terjamin
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News