Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penurunan BI Rate menjadi 4,75% bersamaan dengan pemangkasan Fed Rate sebesar 25 bps pada 17 September 2025, dinilai membuka ruang positif pada masuknya arus modal asing ke pasar Indonesia.
Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, mengatakan hal ini membuat sebagian besar obligasi pemerintah Indonesia kembali menguat kemarin.
"Kami menilai penguatan obligasi pemerintah Indonesia mencerminkan respons positif investor terhadap pemangkasan suku bunga yang dilakukan baik oleh Bank Indonesia maupun The Fed," ungkap Myrdal kepada Kontan, Jumat (19/9/2025).
Myrdal lebih lanjut menjelaskan, penguatan terkuat terjadi pada obligasi pemerintah berjangka pendek, khususnya tenor 5 tahun, 1 tahun, dan 2 tahun. Hal ini menurutnya mencerminkan penyesuaian investor terhadap iklim suku bunga yang lebih rendah, disertai dengan antisipasi mereka terhadap kondisi ekonomi di masa depan.
Selain faktor moneter, pasar juga merespons positif terhadap keputusan pemerintah menaikkan pagu anggaran belanja negara pada RAPBN 2026, meskipun berdampak pada pelebaran asumsi rasio defisit fiskal dari 2,48% PDB menjadi 2,68% PDB.
Baca Juga: Penurunan BI Rate Buka Peluang Turunnya Bunga KPR, tapi Terganjal Biaya Dana
Namun Myrdal menilai investor akan cenderung melakukan aksi ambil untung setelah mencermati perkembangan yang kurang menguntungkan pada ketegangan geopolitik global, ditambah ekspektasi meningkatnya pasokan obligasi pemerintah tahun depan seiring asumsi rasio defisit fiskal yang mendekati 2,7% PDB.
"Sejauh ini, investor asing menjadi pelaku utama aksi ambil untung di pasar obligasi pemerintah Indonesia," ungkap Myrdal.
Hal ini terlihat dari penurunan kepemilikan asing pada obligasi pemerintah dari Rp 935,58 triliun pada 10 September 2025 menjadi Rp 925,37 triliun pada 15 September 2025.
Keluarnya aliran dana asing (hot money) dari pasar saham dan obligasi Indonesia juga mempengaruhi pelemahan nilai tukar rupiah yang semakin dalam pada akhir pekan, Jumat (19/9), dan kini berada di level terendah sejak 14 Mei 2025 atau lebih dari empat bulan terakhir.
Di pasar spot, rupiah turun Rp 74 (0,45%) ke posisi Rp 16.601 per dolar AS. Dalam sepekan, rupiah sudah melemah 1,38% dari Rp 16.375 per dolar AS pada Jumat (12/9/2025).
Sempat menyentuh Rp16.610 per dolar AS siang tadi, rupiah akhirnya ditutup tetap di atas Rp16.600 per dolar AS.
Baca Juga: Diprediksi Melesat, Analis Saran Beli Saham Bank Blue Chip Ini Usai BI Rate Turun
Myrdal menilai pelemahan ini dipicu aliran keluar dana asing (hot money) sebagai aksi ambil untung investor global di pasar negara berkembang, seperti Indonesia, setelah adanya kepastian keputusan pemangkasan suku bunga The Fed.
"Aliran keluar hot money di pasar obligasi pemerintah akibat semakin menyempitnya selisih imbal hasil antara obligasi pemerintah Indonesia dengan obligasi pemerintah AS," ungkapnya.
Myrdal menyebut, saat ini selisih imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun Indonesia dengan obligasi 10 tahun AS kurang dari 220 bps, yang dinilai semakin kurang menarik oleh investor.
Selain itu, tekanan juga datang dari aksi jual asing di pasar saham domestik yang mencatat net sell US$ 663,43 juta sepanjang 1–18 September 2025. Tekanan ini karena sikap “wait and see” investor terhadap perkembangan terbaru dinamika sosial politik Indonesia serta berbagai kebijakan fiskal baru dari Menteri Keuangan yang baru.
Baca Juga: Sudah Dipangkas 5 Kali, Begini Potensi Penurunan BI-Rate di Sisa Tahun 2025
Kondisi ini menurut Myrdal menunjukkan Rupiah rentan melemah akibat kombinasi dinamika kebijakan moneter BI dan The Fed. Ia menegaskan peran krusial Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas moneter dengan memanfaatkan BI Rate sebagai jangkar kebijakan agar pasar keuangan domestik tetap menarik.
"Level support terdekat Rupiah berada di Rp16.436 per dolar AS, dengan resistance di Rp16.632 per dolar AS," ungkap Myrdal.
Sementara itu David Sumual, Chief Economist Bank Central Asia (BCA) mengatakan pasar obligasi dan saham Indonesia masih menarik bagi investor asing jika dibandingkan imbal hasil negara-negara Emerging market yang lain.
David juga memprediksi rupiah akan stabil dalam jangka pendek. Rupiah stabil dalam jangka pendek Rp 16.500 sampai dengan Rp 16.700," ungkapnya kepada Kontan.
Baca Juga: BI Pangkas Suku Bunga Acuan Jadi 4,75%, Ruang Pelonggaran Masih Terbuka
Selanjutnya: Pangkas Sejumlah Target Tahun Ini, Cermati Rekomendasi Saham Bank Mandiri Berikut!
Menarik Dibaca: ASTER di Puncak Top Gainers dalam 24 Jam, MYX Terpental ke Top Loser
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News