Reporter: Achmad Jatnika | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Anggota Ombudsman Republik Indonesia Yeka Hendra Fatika mengungkapkan beberapa temuan Ombudsman di lapangan terkait dengan kelangkaan minyak goreng (migor) di masyarakat.
Misalnya terkait dengan pembatasan pasokan, menurutnya indikasi yang terjadi di lapangan adalah minyak goreng disimpan di pasar ritel modern tetapi tidak ditampilkan di etalase. Selain itu, distributor menghentikan pasokan pada toko-toko ritel modern.
Yeka belum secara pasti mengatakan bahwa hal tersebut adalah indikasi penimbunan, dan ia hanya akan menyerahkan temuannya kepada Satuan Tugas (Satgas) Pangan untuk didalami lebih lanjut lagi. Temuan ini menurutnya terjadi di 7 provinsi, yakni Sumatra Utara, DKI Jakarta, Jambi, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Baca Juga: Satgas Pangan: Penimbun Minyak Goreng Bisa Dipidana
“Apakah ini ada indikasi penimbunan, saya pikir informasi ini kami share kepada satgas pangan untuk didalami lebih lanjut lagi. Apakah pembatasan pasokan ini berujung pada penimbunan, karena sampai sekarang penimbunan banyak sekali. Meskipun harus berhati-hati, definisi penimbunan ini ada di area yang abu-abu,” katanya dalam konferensi Pers, Selasa (22/2).
Kemudian, ditemukan juga adanya upaya penyusupan, misalnya karyawan ritel modern yang menjual migor keluar dari gudang ritel kepada pedagang ritel tradisional, dan agen distributor yang menjual kepada pedagang ritel tradisional dan pasar tradisional dengan harga di atas HET. Temuan ini terjadi di Provinsi Bangka Belitung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara.
Terakhir, Yeka mengatakan bahwa ada temuan terkait bundling, yakni yang hanya diperbolehkan membeli minyak dengan syarat memberi barang lain dari toko tersebut. Hal ini terjadi di Provinsi DI Yogyakarta, dan Maluku Utara.
Baca Juga: Produsen Minyak Goreng Tropical Gelar Kampanye Tropical Generasi Peduli
Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Saragih menjelaskan, terkait dengan temuan bundling di masyarakat, menurutnya hal ini adalah pelanggaran dari persaingan usaha.
Ia menjelaskan bahwa di kondisi saat ini sangat mungkin terjadi bundling, karena ada produk yang punya nilai kompetitif, sehingga nilai daya saingnya begitu kompetitif, dan mengambil kesempatan untuk menjual produk yang lain.
Baca Juga: Tarif PPN 11% Berlaku April, Indef: Jadi Beban Tambahan Konsumen
“Kalaupun memang dari persaingan usaha kita harus memperhatikan persaingannya berdampak pada pasar atau tidak. Namun apabila kecil, harus melakukan perubahan. Karena di posisi seperti ini, sangat mungkin sekali dia bundling, karena ada produk yang begitu punya nilai kompetitif, sehingga nilai daya saingnya begitu kompetitif, dan mengambil kesempatan untuk menjual produk yang lain,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News