Reporter: Amailia Putri Hasniawati | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Presiden Jokowi menargetkan Indonesia bisa menduduki peringkat di bawah 40 sebagai negara yang dinilai memiliki kemudahan menjalankan usaha atau easy of doing bussines (EODB).
Lalu, apa saja yang sudah diperbaiki agar target tersebut tercapai?
Franky Sibarani, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengatakan, telah menyurati 19 kementerian dan lembaga (K/L) terkait catatan-catatan yang ada di laporan Bank Dunia.
Salah satunya adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Berdasaran laporan yang telah ia terima, Direkorat Jenderal Ketenagalistrikan (DJK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PLN telah membuka akse layanan satu pintu.
Sehingga, membuat proses penyambungan listrik menjadi lebih cepat dan efisien.
"Indikatornya, saat ini hanya butuh tiga prosedur (untuk penyambungan listrik), sebelumnya lima prosedur," ujar Franky belum lama ini.
Lalu, dari segi waktu, kini hanya butuh 40 hari untuk proses pemasangan listrik dari sebelumnya yang butuh 78 hari.
Biaya sambungan pun bisa ditekan dari 338% per income per capita menjadi 116% per income per capita.
Di bidang perpajakan sebenarnya sudah mengalami perbaikan, terutama setelah ada sistem pelaporan online.
Namun, kebijakan ini dinilai kurang sosialisasi sehingga implementasi rendah.
Masih banayak wajib pajak tidak mengetahu dan tetap melakukan pelaporan secara manual.
"Masalah besar pada EODB ini adalah deregulasi, sosialisasi, dan monitoring, ini yang sedang diperbaiki," imbuh Franky.
Seperti diketahui, berdasarkan laporan World Bank EODB 2016, Indonesia berada di posisi 109 sebagai negara paling ramah berbisnis dari 189 negara yang disurvei.
Posisi ini mengalami peningkatan dari 120 pada periode sebelumnya.
Informasi saja, survei ini dilakukan pada periode 2 Juni 2014 hingga 1 Juni 2015.
Jika dibandingkan dengan negara di kawasan, Indonesia masih jauh di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, bahkan Filipina.
Singapura masih kokoh ada di urutan pertama sebagai negara paling mudah melakukan usaha di dunia.
Sedangkan, Malaysia, Thailand, Brunei, Vietnam, dan Filipina masing-masing ada di posisi 18, 49, 84, 90, dan 103.
Indonesia hanya unggul dibanding Myanmar, Kamboja, dan TImor Leste.
Masing-masing negara tersebut ada di posisi 127, 167, dan 173.
Ada 10 kriteria yang mejadi indikator penilaian. Diantara 10 indikator itu, masing-masing ada lima poin yang mengalami kenaikan dan penurunan.
Lima indikator yang menjadi pendongkrak kenaikan peringkat Indonesia adalah perizinan terkait pendirian bangunan.
Hal ini terkait meningkatnya kontrol atas kualitas bangunan.
Sebelumnya, Indonesia ada di posisi 153 di 2015, kemudian di 2016 naik ke posisi 107.
Kemudian, penyambungan listrik membaik 32 poin dari peringkat 78 ke posisi 46.
Indonesia dinilai memiliki kepastian mengenai pasokan dan transparansi tarif.
Kebjiakan pembayaran pajak pun direspon positif dengan kenakan peringkat dari 160 ke 148.
Hal ini lantaran adanya kebjiakan pembayaran jaminan sosial (BPJS ketenagakerjaan) secara elektronik.
Sehingga, ini memangkas waktu pembayaran yang tadinya dilakukan 12 kali menjadi hanya satu kali pembayaran.
Berkurangnya jenis pembayaran juga dari 65 menjadi 54 jenis per tahun.
Besaran pengenaan pajak yang berkurang dari 31,4% dari laba menjadi 29,7% juga menjadi katalis positif bagi peringkat merah putih.
Selanjutnya, akses perkreditan juga membaik dari posisi 71 ke 70.
Hal ini imbas adanya sistem fidusia online yang salah satunya memungkinkan akses pencarian nama debitur.
Begitu pula dengan penegakan kontrak yang naik dua poin dari 172 ke 170. Adapun, indikator yang mengalami kemerosotan adalah poin memulai usaha.
Awalnya, peringkat Indonesia dilihat dari kemudahan memulai usaha ada di posisi 155 di 2015. Namun, di 2016 anjlok ke posisi 173.
Hal ini terjadi akibat isu di sektor pertanahan.
Fokus World Bank pada penilaian di bidang pertanahan ini adalah transparansi proses dan prosedur.
Transparansi yang dimaksud antara lain kemudahan investor untuk memperoleh informasi terkait kepemilikan dan status tanah.
Apakah tanah tersebut sedang dalam sengketa atau tidak.
Selain itu, perdagangan lintas negara juga merosot tajam dari posisi 62 ke peringkat 105.
Penurunan ini akibat adanya perubahan metode penilaian.
Sebelumnya, World Bank hanya mengukur dari jumlah dokumen yang diperlukan untuk melakukan ekspor impor.
Tetapi, di metode baru, Bank Dunia mengukurnya dari prosedur dan biaya ekspor impor. Kegiatan ekspor impor Indonesia dinilai mahal.
Indikator lain yang mengalami penurunan adalah pendaftaran properti, perlindungan terhdap investor minoritas, serta penyelesaian kepailitan.
Franky bilang, pihaknya masih menunggu laporan K/L lainnya.
Mampukah Indonesia memperbaiki itu semua?
Tunggu laporan Bank Dunia selanjutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News