kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Benarkah Indonesia Terancam Hiperinflasi?


Kamis, 18 Agustus 2022 / 15:41 WIB
Benarkah Indonesia Terancam Hiperinflasi?
ILUSTRASI. Ketua MPR Bambang Soesatyo mengingatkan, Indonesia menghadapi hiperinflasi dengan angka inflasi 10%-12% pada September 2022.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan, Indonesia akan menghadapi hiperinflasi dengan angka inflasi berada pada kisaran 10% hingga 12% pada September 2022 mendatang.

Menurutnya, lonjakan harga pangan dan energi akan membuat inflasi semakin tinggi. Hal tersebut justru akan membuat beban rakyat bertambah di tengah pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pada September 2022 mendatang, Indonesia belum akan menghadapi hiperinflasi di atas 10%. Dirinya menduga, batas atas inflasi pada tahun ini masih akan berada pada kisaran 6,5%.

"Tapi perkiraannya batas atas 6,5%, belum akan sampai hiperinflais di atas 10%," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Kamis (18/8).

Baca Juga: Kucurkan Anggaran Perlinsos Rp 479,1 Triliun, Target Kemiskinan Turun 7,5% di 2023

Menurut Bhima, terjadinya hiperinflasi akan bergantung dari berapa besar kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi, sehingga bola inflasi ada di tangan pemerintah. Ia menyebut, volatile food per Juli 2022 sudah mencapai 11%, sementara untuk harga energi masih ditahan pemerintah.

"Jadi gabungan kenaikan Pertalite sampai Rp 10.000 per liter misalnya, ditambah harga pangan naik memang risiko inflasi kita cukup tinggi," katanya.

Bhima mengatakan, kenaikan harga Pertalite menjadi Rp 10.000 disatu sisi akan meringankan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sisi lain, pemerintah wajib meningkatkan dana belanja sosial sebagai kompensasi kepada orang miskin dan rentan miskin atas naiknya harga BBM subsidi.

"Jadi ini ibarat hemat dikantong kanan, tapi keluar dana lebih besar dikantong kiri," ujar Bhima.

Dibandingkan menaikkan harga BBM bersubsidi, Bhima lebih menyarankan pemerintah untuk melakukan hal-hal berikut.

Pertama, memperketat pengawasan solar subsidi untuk kendaraan angkutan di perusahaan pertambangan dan perkebunan skala besar. Pasalnya, selama ini tingkat kebocoran solar masih terjadi, dan lebih mudah mengawasi distribusi solar dibandingkan pengawasan BBM untuk kendaraan pribadi dikarenakan jumlah angkutan jauh lebih sedikit dibanding mobil pribadi.

Kedua, mendorong pembangunan jaringan gas (jargas) untuk menggantikan ketergantungan terhadap impor LPG 3 Kg. Bhima menyebut, jaringan gas juga bermanfaat untuk mempersempit celah subsidi ke rumah tangga mampu.

Ketiga, menunda proyek infrastruktur dan mengalokasikan dana untuk menambah alokasi subsidi energi.

Keempat, mengalihkan sebagian dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk subsidi energi. Untuk diketahui, pemerintah menggelontorkan subsidi energi sebesar Rp 502 triliun di tahun ini. Sementara di tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran PEN sebesar Rp 455,62 triliun.

Kelima, Bhima menyarankan pemerintah melakukan penghematan belanja pegawai, belanja barang dan jasa, termasuk transfer ke daerah masih bisa dilakukan.

"Pemerintah juga dibekali dengan Undang-Undang darurat keuangan di mana pergeseran anggaran tanpa persetujuan DPR. Jadi lebih cepat dilakukan perombakan ulang APBN semakin baik," imbuhnya.

Baca Juga: Anggaran Kesehatan Tahun 2023 Naik Jadi Rp 169,8 Triliun, Berikut Rinciannya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×