Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) akan mengeluarkan aturan baru terkait sertifikasi pekerja konstruksi. Beleid tersebut akan dikeluarkan dalam Peraturan Menteri (Permen) PU.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono menjelaskan pembentukan Permen tersebut merupakan amanat dari Undang-undang (UU) nomor 2 tahun 2017. Akan tetapi, dirinya tak ingin sertifikasi ini hanya sebagai kewajiban, namun untuk meningkatkan daya saing pekerja konstruksi Indonesia.
"Nanti kalo aturannya jadi, pekerja yang tidak bersertifikat gajinya hanya 70% sampe 80% dari yang bersertifikat. Misal, pekerja yang bersertifikat pendapatannya 100, maka yang tidak bersertifikat 70-80," terang Basuki di kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Senin (21/8).
Selain itu, Menteri Pupera juga menjamin pekerja yang bersertifikat pasti mendapatkan pekerjaan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. "Pekerja dari Asean nanti akan masuk Indonesia dan mereka pasti sudah bersertifikat. Nah, kalau pekerja kita tidak dibekali sertifikasi, pasti kalah," ujar Basuki.
Draft beleid ini ditargetkan selesai pada akhir 2017, sehingga pada 2018 mendatang sudah bisa diterapkan pada semua kontrak jasa konstruksi. Pihak BUMN maupun swasta wajib mendorong pekerjanya untuk memperoleh sertifikasi.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Konstruksi, Yusid Toyib memaparkan, sejak Lima tahun lalu hingga saat ini sekitar satu juta pekerja telah bersertifikat. Jumlah tersebut masih kecil, sekitar 10% - 13% jika dibandingkan total pekerja konstruksi Indonesia yang saat ini mencapai 8 juta.
"Kami targetkan tiap tahun bisa 500.000 pekerja telah bersertifikat. Untuk target tahun ini, sudah ada 300.000 pekerja yang sudah bersertifikat," jelas Yusid saat mendampingi Menteri Pupera.
Yusid menjelaskan, terdapat dua kriteria sertifikasi, yakni untuk tenaga terampil dan tenaga ahli. Dan tiga jenis pekerja yang wajib bersertifikat untuk tenaga terampil, yaitu tukang, kepala tukang dan mandor. "Sekarang paling banyak yang tersertifikasi tenaga terampil. Kalau tenaga ahli, seperti arsitektur, ahli sipil hanya 5% - 10% saja," katanya.
Pelaksana sertifikasi dilakukan oleh Kemenpupera bekerjasama dengan Lembaga Penyedia Jasa Konstruksi (LPJK). Yusid menjelaskan, ada dua cara yang digunakan untuk proses sertifikasi, yakni lewat pelatihan selama 3 hari atau sidak langsung ke lapangan oleh tim asesor LPJK.
"Untuk yang pelatihan langsung di tempat kami selama tiga hari, biayanya sekitar Rp 1,5 juta per orang sudah sepaket dengan sertifikatnya. Kalau yang langsung sidak di lapangan, nanti tim asesor akan bertanya langsung soal teori konstruksi dan tinggal membayar biaya sertifikatnya saja," jelas Yusid.
Selama ini, biaya sertifikasi sebanyak 35% ditanggung oleh Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN). Dan sisanya, 65% ditanggung oleh perusahaan swasta maupun BUMN tempat si pekerja.
"Kami kan ada anggaran Rp 350 miliar untuk kegiatan investasi, fasilitasi, pembuatan UU jasa konstruksi kemarin, untuk kompetensi membuat modul. Nah, sekitar 20% kami gunakan untuk pembiayaan sertifikasi ini," tandas Yusid.
Ke depan, Kemenpupera akan menggandeng swasta dan BUMN agar mengalokasikan sebagian dana Corporate Social Responsibility (CSR) mereka untuk sertifikasi pekerja konstruksinya. Tahun depan, pemerintah masih menganggarkan 20% dari Rp 350 miliar atau sekitar Rp 70 miliar dari RAPBN 2018 untuk sertifikasi ini.
Soal berapa patokan upah pekerja yang sudah bersertifikat, pemerintah akan mendiskusikannya dengan Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo), Persatuan Konsultan Indonesia (Perkindo) dan berapa asosiasi konsultan lainnya. Yang jelas, Yusid mengatakan upah pekerja konstruksi saat ini di atas Upah Minimum Regional (UMR).
Program pembangunan infrastruktur masih menjadi prioritas Kemenpupera di 2018, sehingga butuh banyak pekerja terampil dan ahli yang sudah berpengalaman di bidang konstruksi untuk menggarapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News