Reporter: Handoyo | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jasa Konstruksi memasuki tahap final. Pemerintah menargetkan, revisi Undang-Undang (UU) No 18/1999 tentang Jasa Konstruksi itu bisa disahkan dan diberlakukan sebelum akhir tahun ini.
Salah satu isu utama dalam pembahasan RUU ini adalah soal kepastian hukum proyek konstruksi. Kelak, kontraktor proyek pemerintah bakal dapat jaminan hukum jika terjadi masalah dalam proses pengerjaan proyeknya.
Yusid Toyib, Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) mengatakan, dalam draf RUU yang baru, penyelesaian masalah proyek konstruksi tidak langsung ditangani aparat hukum. Tapi, prosesnya berjenjang lewat Badan Pemeriksa Kauangan (BPK) atau Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).
Nah, dalam draf RUU, LPJK juga tak boleh lagi mengeluarkan sertifikasi bagi kontraktor. LPJK hanya bertugas sebagai pemantau proses akreditasi perusahaan itu.
Dengan adanya kepastian hukum, kata Yusid, pengerjaan proyek pemerintah yang sudah berjalan tak akan terganggu. "Selama ini, otoritas hukum bisa langsung memanggil pelaku jasa konstruksi jika terjadi masalah. Jadi, proyek di lapangan terbengkalai," ujar Yusid.
Yusid mencontohkan pembangunan jalan yang ketebalannya kurang atau tidak sesuai spesifikasi. Masalah ini belum bisa diduga sebagai tindak pidana korupsi, tapi kasus perdata. Setelah proyek diaudit BPK dan hasilnya memang tidak sesuai, kontraktor bisa memberikan ganti rugi.
Anggota Komisi V DPR Yoseph Umar Hadi menambahkan, RUU ini juga akan mengatur pembentukan badan baru yang menaungi sektor konstruksi. Selama ini masih banyak persoalan di sektor jasa konstruksi diselesaikan secara pidana. "Saya optimistis setelah masa sidang IV, RUU ini selesai," kata Yoseph.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News