Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Realisasi belanja pemerintah dinilai masih rendah dan belum mampu menjadi motor penggerak ekonomi nasional.
Seharusnya, pemerintah mengumumkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Juli 2025 pada Jumat (29/8/2025).
Namun, acara tersebut dibatalkan karena aksi unjuk rasa yang meluas. Meski demikian, sejumlah ekonom menilai dampak belanja pemerintah terhadap perekonomian belum signifikan.
Baca Juga: Menakar Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Gempuran Tekanan Global
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan realisasi belanja pemerintah pusat hingga Agustus 2025 masih rendah, sehingga berpotensi menimbulkan kontraksi pada kuartal III-2025.
"Kontribusi belanja pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) masih belum optimal. Padahal, pemerintah seharusnya menjadi motor pertumbuhan konsumsi rumah tangga domestik," ujar Bhima, Jumat (29/8).
Hingga Juni 2025, realisasi belanja pemerintah baru mencapai 37,1% dari pagu, setara Rp 1.003,6 triliun.
Bhima menilai rendahnya penyerapan anggaran disebabkan meningkatnya beban pembayaran bunga utang yang mencapai Rp 70 triliun hingga Rp 100 triliun per bulan.
Baca Juga: Menakar Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Gempuran Tekanan Global
Selain itu, penerimaan negara, baik pajak maupun PNBP, mengalami shortfall yang cukup besar.
"Dengan kondisi itu, belanja pasti direm secara signifikan. Mungkin SAL (saldo anggaran lebih) akan dipakai untuk mengisi alokasi belanja lain," jelas Bhima.
Tertahan di Birokrasi
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, juga menilai belanja pemerintah belum memberikan dorongan nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Data menunjukkan kontribusi government spending dalam PDB masih negatif.
Menurut Yusuf, realisasi belanja yang tertahan dipengaruhi faktor teknis, seperti proses lelang, penyesuaian prioritas, serta kebijakan efisiensi anggaran yang berlaku tahun ini.
Keterlambatan ini berdampak pada beberapa hal.
Pertama, efek multiplier dari belanja negara untuk infrastruktur, bantuan sosial, maupun belanja barang dan jasa belum masuk ke sirkulasi ekonomi.
Baca Juga: Sinyal Darurat Ekonomi Indonesia
Kedua, konsumsi rumah tangga yang masih menjadi penopang daya beli tidak mendapat tambahan stimulus fiskal.
Ketiga, dunia usaha kehilangan momentum karena proyek pemerintah yang biasanya mendorong permintaan belum berjalan maksimal.
Selain itu, pola musiman belanja yang menumpuk pada kuartal akhir serta kebijakan efisiensi anggaran memperlambat perputaran ekonomi.
Baca Juga: Deputi Gubernur BI Sebut Ekonomi Indonesia Tahan Banting Hadapi Tantangan Global
"Jika kondisi ini berlanjut, pertumbuhan kuartal III bisa lebih lambat dari target, kecuali pemerintah mempercepat realisasi belanja pada bulan berikutnya," kata Yusuf.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News